Malam itu akhirnya Bulan memutuskan untuk pulang menggunakan taksi setelah beberapa lama menyusuri trotoar jalanan dengan air mata yang terus saja mengalir. Bulan menyandarkan kepalanya pada jendela mobil sembari menatap malam yang terang dengan bulan dan bintang di atas sana. Sepertinya semesta sedang mentertawakannya saat ini.
Setelah sampai, Bulan langsung memasuki kamarnya dengan dada yang masih dipenuhi oleh rasa sesak. Gadis itu masuk pada kamar mandi lalu menyalakan shower dan langsung terduduk dengan wajah yang menelungkup masuk pada tangan yang memeluk kakinya. Ia kembali terisak di sana.
Jujur saja, ia sangat lemah jika sudah dibentak oleh seseorang yang sudah ia anggap istimewa. Ia lebay? Katakan saja seperti itu, tapi memang itu kenyataannya. Ia benar-benar lemah jika bersangkutan dengan Bintang.
Dan juga ia sangat benci dengan situasi seperti ini, sangat benci. Ia akan sangat terlihat lemah dan hal itu ia tentu tidak ingin orang lain melihatnya.
"Lo, tunggu di dalam mobil. Gue harus urus Bulan lebih dulu,"
Ucapan Bintang sore tadi terus saja berputar di kepalanya. Bagaimana bisa di saat ia berusaha membela laki-laki itu tapi laki-laki itu sendiri yang mengecewakannya? Sungguh, ia benar-benar tidak paham dengan pola pikir Bintang. Padahal, beberapa jam yang lalu ia dan Bintang sangat terlihat bersenang-senang, tapi sekarang?
Bulan mengangkat wajahnya lalu menyandarkan kepalanya pada dinding toilet, gadis itu menikmati setiap aliran air yang mengalir dari shower di atas kepalanya. Rasanya sangat sejuk, pikirannya perlahan mendingin. Namun tetap saja, rasa sesak itu masih memenuhi rongga dadanya.
"Meski kamu sudah puluhan bahkan ribuan kali mengecewakanku, anehnya, aku masih bisa mencintaimu tanpa berkurang sedikitpun," gadis itu kembali meneteskan air matanya, bersamaan dengan aliran air dari shower.
"Kamu tau Bintang? Saking mandirinya, aku bahkan memperjuangkan perasaan ini sendiri,"
"Hidup sendiri, memperjuangkanmu sendiri, dan bahagia juga ... sendiri? Ah, tidak, aku ingin bahagia bersamamu, Bintang." gadis itu terkekeh pelan walau dengan air matanya yang terus saja mengalir.
"Jika aku ingin bahagia denganmu dan kamu tidak ingin bahagia denganku, apa kebahagiaan itu akan tetap ada?"
"Kalau saat itu aku tidak pernah memaksamu untuk berkenalan denganku, aku tidak akan jatuh pada lubang sedalam ini." Bulan membuka matanya yang sedari tadi tertutup, gadis itu menatap kosong pada dinding toilet di seberangnya. Menerawang jauh pada banyak hal yang selalu membuat dadanya terasa sesak dan kosong.
"Siapa nama kamu?" Bulan yang berusia 5 tahun saat itu terus saja mengikuti langkah lebar milik Bintang yang tengah berjalan menuju taman belakang rumahnya. Anak laki-laki itu tampak tidak menggubris sama sekali pertanyaan dari Bulan yang kini tengah berada di rumahnya plus dengan orangtua gadis itu.
"Kamu nggak mau kasih tau nama kamu?" gadis kecil itu tampak menghembuskan nafasnya kasar. "Kamu kok cuek banget, sih,"
"Karena orangtua kita sahabatan, aku mau kita juga sahabatan," tak kembali menjawab, Bintang malah asik menaiki ayunan di taman itu.
Bulan tampak menyodorkan tangannya pada Bintang yang siap berayun pelan. "Nama aku Bulan," seketika anak laki-laki bernama Bintang itu langsung menatap wajah Bulan dengan tatapan polosnya.
"Bulan?"
"Iya, nama aku Bulan. Kenapa? Namaku aneh, ya?"
Bintang menggeleng lalu menerima sodoran tangan itu. "Namaku Bintang,"
Wajah gadis itu seketika berbinar. "Kamu mau jadi sahabat aku?"
"Ya, kita bisa sahabatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Bulan dan Bintang
Teen FictionSUDAH TAMAT DAN PART MASIH LENGKAP. Mencintaimu adalah patah hati yang di rencanakan. Seperti yang dikatakan banyak khalayak orang. Tidak mungkin jika di dalam persahabatan berbeda gender salah satunya tidak memiliki perasaan suka. Ini tentang seora...