38...Hancur

258 9 0
                                    

"Kau tidak ingat? Malam disaat pesta Meera menolakmu dan kita minum di club, saat itu juga ada Viony, kau yang mengajaknya ke kamar hotel. Kau lupa?"

"Aku tidak merasa melakukan itu! Kau jangan berbohong Tomi! Aku tau rencana busuk kalian karena Viony sepupumu kan! Kau suka dengan Meera ha?"

"Aku ti—"

Bugh!!

Bugh!!

"Kau menipuku kan? Mengaku bajingan!!"

Tomi tersungkur di lantai ruang kerjanya. Pria itu mengelap darah di sudut bibirnya, tersenyum miring.

"Cih kau tak mengaku telah menghamili Viony? Kau yang pantas disebut bajingan!"

"Jaga ucapanmu !!" Saat Alex akan melayangkan pukulannya, Edwin menahan.

"Sudah bos, tidak ada gunanya menghabisi dia bos. Kita cari cara lain."

Alex menurunkan tangannya. "Aku buktikan bukan aku yang menghamilinya!"

Alex meninggalkan ruangan itu. Langsung menuju mobilnya, penampilannya terlihat kacau sekarang. Alex mengacak rambutnya memukul pahanya sendiri.

Edwin yang berada di kursi penumpang sebelah supir hanya bisa terdiam. Saat ini hanya Meera yang bisa menenangkan bos nya, tapi gadis itu malah bermesraan dengan mantan pacarnya.

"Aku tidak bisa berada di sini lebih lama Win, kau cari semua buktinya aku akan pergi ke Jepang, jangan ada yang tau keberadaanku."

"Baik bos."

Mereka menuju bandara, Alex tidak bisa melihat Meera mesra dengan Darel setiap hari. Dia harus pergi jika tidak ingin mati perlahan.

***

Di ruangan direktur Varo hospital Meera menangis dipelukan Darel, apalagi penyebabnya kalau bukan merindukan Alex. Entah terbuat dari apa hati Darel masih sanggup berada di samping gadis yang dicintainya tapi menangis merindukan pria lain di pelukannya.

"Sudah sayang, dia sudah bahagia dengan wanita lain."

"Aku masih tidak rela, aku masih mencintainya Darel. Hiks hiks hiks."

Darel membelai punggung Meera menenangkan gadis itu. "Kita beli ice cream, coklat, mawar putih? Mau apa hm?"

Namun tangisan Meera semakin terdengar, "Aku mau Alex hiks hiks."

"Apa aku harus menyusulnya memaksanya kesini sayang?"

"Sudah dua bulan Darel aku belum bisa melupakannya sedetikpun."

"Jadi maunya gimana sayang? Kita ke jakarta?"

"Nanti banyak pernyataan trus kita—"

Brak!!

Pintu dibuka paksa, membuat Meera dan Darel terkesiap, menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan tampilan modisnya yang serba barang branded. Dengan rambut pendek yang berwarna kecoklatan menatap nyalang Meera.

"Kau sembunyikan dimana anakku?"

"Mom? Aku—"

"Aku bukan ibumu!! Kau sembunyikan dimana Alex?" Wajah Rosaline merah padam.

"Aku tidak tau Mrs. Alvaro." Meera menunduk takut, bahunya gemetar karena masih syok dan air matanya masih saja mengalir deras.

Rosaline yang sudah di hadapan Meera menunjuk wajahnya. "Anakku sampai mengasingkan diri, kau malah berpelukan dengan pria lain? Cih murahan!!"

Plak!!

Tamparan mendarat di pipi Meera, Darel terlambat untuk mencegahnya.

"Anda jangan asal menuduh kalau tidak tau yang sebenarnya! Harusnya anda tanya kenapa Alex bisa melamar Meera tapi menghamili perempuan lain?" Suara Darel menggelegar di ruangan itu.

Rosaline terdiam dengan tatapan yang nyalang. Langsung meninggalkan ruangan karena malu dengan kenyataan anaknya yang salah dalam masalah ini. Rosalin tau Alex pulang ke Bali tapi wanita itu tidak menemukan Alex dimanapun.

Darel memeluk tubuh bergetar Meera. "Maaf aku terlambat mencegahnya sayang."

Meera menatap Darel mengelap pipinya yang basah. "Rel, berarti Alex belum merencanakan menikahi Viony, aku harus membujuknya."

Darel menggantikan tangan Meera mengusap air mata yang masih mengalir di pipi gadis itu. "Ck, kamu bodoh ! Biarkan itu urusan mereka, aku tak ingin kamu terluka lebih dari ini sayang."

"Tapi, aku yang dituduh disini Rel, aku tidak mau menjadi alasan Alex tidak bertanggung jawab."

"Aku bilang jangan ikut campur Meera!" Darel geram dengan sikap Meera yang tak memperdulikan perasaannya sendiri.

***

Rosaline berada di mansion Alvaro, semua pengawalnya mencari keberadaan Alex. Tapi belum ada tanda mengenai keberadaan Alex. Sementara Viony merengek dipelukan Rosaline karena khawatir Alex tak menikahinya.

"Tenanglah Viony, Alex pasti menikahimu secepatnya."

"Aku takut Mom, bagaimana nasib anakku jika Alex tak menikahiku."

Dibelahan dunia lain, Abrar turun dari Private Jetnya, pria itu tiba di Jepang untuk menemui anaknya. Wajahnya yang menegang dan datar dengan aura kekuasaan yang melekat kuat pada dirinya.

Di penthouse mewah berdesain modern didominasi warna abu abu gelap, Alex bersandar di kursinya menikmati kota tokyo di balik dinding kaca. Pandangannya kosong seperti tidak semangat untuk hidup.

"Alex, pulang sekarang!" Suara bariton itu tak mengalihkan pandangan Alex sedikitpun.

Abrar beralih berdiri di depan Alex, melihat putranya shirtless dengan botol akohol di genggamannya, rambutnya acak-acakan bahkan tak sedikitpun melihat ke arahnya. Abrar menyentuh bahu Alex, berusaha menyadarkan anaknya dari dunia lain yang entah dimana pikirannya berada.

"Lex, kau dengar Daddy??"

Hening

Abrar melambaikan tangannya di wajah Alex namun pria itu belum juga berkedip.
"Hey!! Jangan buat Daddy khawatir." Raut wajah Abrar tampak cemas, terakhir Alex seperti ini saat melihat Meera pertama kali berduaan dengan Darel di kampus mereka.

Melihat tidak ada respon dari Alex, Abrar menampar anaknya. Usahanya berhasil menbuat Alex menoleh ke arahnya. Alex hanya menampilkan ekspresi datarnya tanpa bicara.

"Kita pulang sekarang."

Alex hanya bergumam, Abrar sudah menyerah, dia melirik pengawalnya yang berada di belakang Alex. Mereka pun mengerti langsung mengangkat Alex ke mobil. Abrar membawa putranya ke bandara, tapi Alex hanya diam seribu bahasa hingga mereka di dalam pesawat.

Abrar duduk dengan seatbelt di pinggangnya, ia memijat pelipisnya, rasanya ingin membunuh orang yang membuat anaknya jadi sehancur ini.

***

Di halaman belakang rumah yang dipenuhi tumbuhan hijau, Meera bersandar di kursi sambil melihat ikan di kolam samping tempat duduknya.

Gadis itu merasakan sesak di dadanya, membayangkan Alex akan menikah dengan perempuan lain. Tapi yang paling mengganggu pikirannya saat orang tuanya tadi menelfon menanyakan perihal pernikahannya dengan Darel. Selama ini orang tuanya tau Darel rela pindah ke Bali karena untuk menemani Meera.

Meera memejamkan matanya beberapa saat, yang muncul hanyalah kenangannya bersama Alex, saat pria itu menggodanya, saat pria itu tersenyum nakal padanya, bahkan saat pria itu menjadi sandaran ternyamana Meera.

Satu moment pun tak bisa dilupakan Meera, kata orang dengan kita merelakan orang yang kita cintai menikah dengan orang lain itu namanya cinta yang tulus. Tapi bagi Meera itu hanyalah munafik dan kebodohan secara bersamaan.

Seandainya tak ada anak itu ditengah mereka pasti Meera akan memperjuangkan untuk mendapatkan Alex lagi seperti usaha pria itu mendapatkannya selama ini. Meera membuka matanya memijat pangkal hidung runcingnya. Sebenarnya dia masih ragu anak yang dikandung Viony itu anaknya Alex atau bukan. Tapi bukti jelas menunjukkan kenyataan pahit.

"Sampai kapan kamu seperti ini sayang?" Suara berat nan merdu Darel membuyarkan lamunan Meera.

Tbc,,

AmeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang