24

1.1K 90 2
                                    

Bosan rasanya menunggu Raya didepan kelasnya. Sebenarnya habis ini ia ada kelas lagi, tapi daripada Raya pulang sendiri. Bolos demi istri ga papa kali.

Fajri pun memutuskan untuk pergi ke kantin, perutnya minta diisi.

"Bu, siomay satu sama es teh manisnya satu. Dimeja biasa ya," ucap Fajri pada ibu kantin.

"Siap den," jawabannya.

Fajri menuju meja yang biasa ia tempati bersama dua curut. Tapi bedanya kali ini ia sendiri, si duo curut ga ada kelas hari ini.

"Fajri! Ya ampun kamu kemana aja sih? Aku nyariin kamu loh," ucap seorang gadis.

"Lo lagi, ngapain?"

"Kok gitu sih sama aku, aku kan-"

"Lo mantan gua, baru sebulan yang lalu kita putus. Jangan ngaku pacar gua mulu," ketus Fajri. Wanita didepan nya adalah masalalu nya, Silvi.

"Tapi anak kampus taunya aku sama kamu masih berhubungan tau, mereka bakal syok banget kalau kita putus," belum ada yang tau kalau hubungan mereka telah kandas, kecuali Fiki sama Zweitson.

"Bodo amatlah sama anak kampus,"  ucap Fajri masabodo.

"Dan tiba-tiba si buaya albino dat- aduhh sakit Yang," ucap Fajri saat ia dicubit oleh Raya.

"Umi sama Abi udah ngasih nama bagus banget, Fenly artinya setia. Enak aja diganti buaya albino," ketus Raya.

"Dia itu anak paling glowing, salah ya julukannya?"

"Casper boleh tuh," saran Raya.

"Lah setan itu mah," Raya dan Fajri terkekeh. Asik juga ngejulitin si Fenly, mumpung anaknya ga denger ye kan.

Tanpa mereka sadari, orang yang tengah dibicarakan ngintip sedari tadi. Pintu kamar Raya terbuka sedikit dan mencuri perhatian Fenly. Ia tersenyum, adiknya sudah besar tenyata. Ia jadi ingat dimana Raya baru saja tiba dirumah nya. Saat itu usianya baru 4 tahun.

Seorang pria baru saja turun dari mobil. Ia membawa seorang bayi perempuan di gendongannya. Bayi tersebut berbalut selimut dan nampak pucat.  

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, loh mas ini anak siapa?"

"Abiii, dede bayi nya Fen ya, Bi?" Fariz hanya mengangguk pelan.

"Aku jelasin di dalam ya," ucap Fariz pada Alma.

Dengan antusias, Fenly mengikuti langkah sang Abi. Ia sangat bersemangat, karena ia iri dengan teman-temannya yang mempunyai adik yang lucu-lucu.

"Umi dede nya Fen yang kasih nama ya."

"Emang Fen mau ngasih nama apa?"

"Laya bagus Umi. Telus kasih nama panjangnya kaya Fen."

"Masa kaya Fen sih, nama Fen kan cowo. Rayana Archifa gimana? Ada mirip-miripnya sama nama Fen,"  Fenly kecil mengangguk, ya walaupun ia tak tau pasti apa arti nya.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Ia menoleh, sang Umi tersenyum kearahnya.

"Raya udah gede ya Mi, padahal baru kemaren dia belajar jalan, eh sekarang udah lari aja," sang Umi hanya bisa tersenyum, walau menerima Raya harus penuh luka, tapi ia sangat menyanyangi putrinya itu. Satu tahun setelah kelahiran Fenly, ia menderita sebuah penyakit yang mengharuskan nya untuk operasi pengangkatan rahim. Padahal ia sangat ingin memiliki seorang putri. Tuhan memberinya melalui jalan yang berbeda.

"Fen tau Mi, kalau Raya bukan adik kandung Fen. Tapi, buat kehilangan Raya, Fen ga sanggup, Mi," tak terasa air matanya ikut mengalir bersama beberapa kata yang terucap.

"Umi ga naruh dendam sama Raya kan?" pertanyaan yang seharusnya tak ia utarakan kini terucap juga. Pertanyaan ini sudah menghinggapi nya sejak ia tau siapa Raya sesungguhnya.

"Enggak sayang, umi sayang banget sama Raya. Kalau umi ga sayang, terus alasan apa yang harus umi ucapkan setiap umi marahin kamu sama Iky saat Raya kenapa-napa?" Fenly tersenyum. Benar juga, ia sering sekali kena marah sang Umi gara-gara ia lalai menjaga Raya.

"Udah jangan ganggu mereka, mending samperin tuh mba Hanum nya," ledek Alma.

"Ck umi..."

Kini waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Fajri terbangun dari tidurnya karena merasakan sesuatu diatas perutnya. Ia mendapati sebuah tangan disana. Fajri tersenyum, ternyata gini rasanya tidur dipeluk istri, nyaman. Sebuah notifikasi membuyarkan lamunannya.

Fiki
Ji lo ke markas cepetan, ada Silvi nih. Sejam dia nunggu lo

Fajri berdecak. Kenapa mantan nya itu terus mengejarnya. Fajri tak merespon pesan dari Fiki, ia memilih membalas pelukan Raya.

"Ck, ganggu aja" lagi-lagi Fiki menghubungi nya, kini melalui telfon.
"Udah suruh pulang aja, gua ga akan ke markas. Lo ganggu tau ga," Fajri memutuskan sambungan telepon secara sepihak dan menonaktifkan ponselnya. Ganggu moment berduaan bareng istri.

"Kak?"

"Kebangun ya? Maaf," ucap Fajri sambil mengelus kepala istri nya.

"Ada apa di markas?"

"Ga ada apa-apa kok, udah tidur lagi," Fajri hanya tak mau Raya ber negatif thinking.

"Yuk ke markas, aku temenin," kini posisi Raya duduk sambil menatap Fajri.

"Ga usah lah, males," Fajri kembali memejamkan matanya. Malas juga bertemu mantannya itu.

"Ish, jangan gitu. Pasti mereka butuh bantuan. Yuk aku temenin."

Dengan langkah malas, Fajri mengubah outfit nya, yang tadinya pake baju tidur jadi outfit ala geng motor. Sedangkan Raya hanya menambah jilbab dan jaket kulit.

"Beneran mau ke markas Rexsan?"

"Iya beneran, penasaran juga gimana markas Rexsan. Bosen maen ke Ganapati mulu," Raya sering ngekor Fenly sampe ke markas Ganapati.

"Ya udah yuk."

Tangan mereka saling bertautan. Cinta diantara mereka semakin tumbuh. Yang tadinya gengsi, sekarang blak-blakan.

Mereka bertemu Fenly diruang tamu, Fenly juga sedang bersiap untuk pergi. Sepertinya ada jadwal balapan.

"Mau kemana?"

"Hotel," ucap Fajri seraya berlalu.

"Serius."

"Ke markas Rexsan, bang."

"Ouh, hah?! Apa markas Rexsan? Ga ga, gua ga ngijinin."

"Raya yang mau bukan gua," jelas Fajri.

"Main bentar kok, bang, lagian sama yang udah halal mah aman," ucap Raya diikuti senyuman manisnya.

"Ya udah, percaya gua mah. Jagain, ada luka. Abis lo," peringkat Fenly.

"Hmm, yuk naik."












Ada apa nih? Kok Raya pengen maen ke markas Rexsan?

Nb : Jangan jadi silent readers ya. Hargai penulis/author dengan memberi votmen dan jika tidak suka dengan alurnya bisa pergi, boleh memberi masukan asal tidak menghina, paham?

Badboy My Husband : End✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang