41

1K 92 4
                                    

Kini matahari semakin memperlihatkan wujud nya. Fajri dan Fenly baru saja pulang dari bimbingan skripsinya. Tepat jam makan siang, mereka sampai dirumah dengan bingkisan ditangan Fajri. Ya tau sendiri lah, si bumil lagi ngidam lagi. Niatnya sore ini mau ke rumah sakit buat cek, berapa usia kandung Raya.

"Uncle Fen, Uncle Aji!" teriak anak lelaki yang tak lain adalah El. Ricky sering menitipkan El disini karena urusan pekerjaan.

"Apa kabar gantengnya uncle," Fenly merentangkan tangannya. Dengan senang hati El memeluk Fenly.

"Baik, uncle cendili apa kabal?"

"Baik kok."

"Uncle Aji apa kabal?" tanya El.

"Baik, kebetulan kita baru beli ice cream, El mau?" El tersenyum lebar dan mengangguk semangat.

"Yuk kita makan didalem," El mengangguk dan dengan semangatnya ia turun dari gendongan Fenly serta menarik Fajri agar segera masuk kerumah

"Uncle Fen ga diajak nih?"

"Jalan cendili," teriak El yang pastinya disuruh Fajri.

"Orang sabar pasti ganteng," celetuk Fenly.

Malam kembali menyapa. Saat ini hujan turun begitu deras. Hal ini membuat Fajri kesal. Pasalnya, malam ini ia ada balapan dengan Luck Gray dan si Raya malah asik nempel dia mulu, sekarang lagi merayunya untuk bermain hujan-hujanan.

"Sayang ini udah malam," ucap Fajri untuk kesekian kalinya.

"Tapi Raya pengen main air," ucap Raya dengan wajah cemberut nya.

"Dikamar mandi juga ada air," celetuk Fajri.

"Air hujan kak," rengek Raya.

"Ga baik buat kamu, nurut ya," ucap Fajri selembut mungkin.

"Ya udah," Raya beranjak dari sisi Fajri. Rasa kesal masih menghinggapi nya, cuma ingin main air saja tidak diperbolehkan. Memangnya ia anak kecil apa?

"Ngambek dah," ucap Fajri prustasi. Fajri mengikuti langkah Raya, ia mendapati Raya tengah menangis dengan memeluk boneka kesayangannya.

"Ray, kamu nangis?"

"Ga kok, kelilipan aja," ucap Raya diikuti senyuman.

"Yuk keluar, katanya mau main air hujan," mau tak mau ia harus menuruti kemauan Raya. Kalau ga dituruti urusan bakal sampai besok pagi, ga cuma sama Raya, nanti abangnya ikut campur, tambah riweh.

"Beneran boleh?" Fajri tersenyum sambil mengangguk.

"Ya udah yuk," Raya menarik Fajri untuk menuju halaman depan.

Seperti anak kecil yang dibiarkan main air, Raya terlihat begitu bahagia. Bahkan ia menarik Fajri untuk ikut bermain. Fajri tersenyum, ini pertama kalinya ia melihat Raya tertawa puas. Selama ini, ia hanya bisa melihat senyum manis serta wajah datar yang sering Raya tunjukan.

"Astaghfirullah! Raya, Fajri, masuk!" teriak Alma.

"Ray," Raya tersenyum dan mengangguk. Ia menerima uluran tangan Fajri.

"Kalian kayak anak kecil aja, cepetan ganti baju, nanti demam," omel Alma.

"Oke umi, yuk kak," Alma hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan anak dan menantunya itu. Bisa-bisa nya mereka main air hujan malem-malem begini.

Mentari kembali menampakkan wujudnya. Pasangan suami istri, sudah siap untuk pergi kekampus. Sebenarnya, Fajri tak ada kegiatan dikampus, tinggal menunggu hari graduate aja. Tapi, karena Raya dalam keadaan berbadan dua, jadi Fajri harus ekstra menjaga Raya. Kayak ga tau aja Raya siapa, Fajri hanya takut Raya kenapa-napa kalau tidak ada dirinya.

"Ke kampus Ji?"

"Iya," jawab Fajri seadanya.

"Ngapain?"

"Kepo banget jadi orang," ketus Fajri.

"Ya elah cuma nanya," ucap Fenly sebelum melajukan motornya.

"Abang kamu bawel banget sih," ucap Fajri.

"Lah kayak situ kaga."

"Kalau kaga sayang, udah gue geprek lo," lirih Fajri, namun masih bisa didengar Raya.

"Gimana-gimana?"

"Eh ga papa."

Motor kesayangan Fajri mulai membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Ia harus berhati-hati membawa motor, karena sekarang ia sedang membawa dua nyawa yang amat ia sayangi.

"Kakak nunggu dikantin ya," Raya mengangguk. Sebenarnya, satu bulan kedepan tak ada jadwal masuk. Namun, ia ada janji dengan anak-anak Cemal, mereka ingin bertemu di rooftop.

"Assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam, akhirnya dateng juga Ray," ucap Shafa.

"Gimana kandungan lo?"

"Alhamdulillah sehat, kemarin baru aja kedokter."

"Alhamdulillah kalau gitu, berapa minggu?"

"Baru 6 minggu, eh gimana, apa yang mau diomongin?"

"Saga udah punya pasukan dan bisa aja sewaktu-waktu dia nyerang kita," jelas Aban. Masih ingatkan dengan Aban? Lupa? Baca part awal-awal, Aban banyak muncul disana.

"Terus rencana selanjutnya apa?" tanya Nabil.

"Jangan main HP please, lagi genting juga," omel Fina pada Nabil. Namun tak digubris oleh Nabil, ia fokus dengan ponselnya.

"Lawan lah, ngapain lagi?" ucap seorang pemuda. Dia adalah Fajri, ia tak datang sendiri. Ada Fenly, Gilang, Fiki dan Zweitson.

"Tenang, ada Rexsan sama Ganapati yang siap bantu," timpal Fenly.

"Gua punya rencana, kalau kalian mau sih," tawar Zweitson.

"Apa?" Zweitson mengutarakan semua rencananya yang sebenarnya baru aja muncul tadi.

"Untuk anak perempuan bakal dijagain sama salah satu anak Rexsan atau Ganapati, nah buat sisanya atur strategi yang tadi gue ngomong," jelas Zweitson.

"Boleh juga, tapi lebih aman lagi 2 sampai 3 anak yang jagain. Saga bukan anak sembarangan," usul Aban.

"Ga masalah."

Nabil berjalan kearah Fajri. Ia mengambil sesuatu dibalik kerah jaket Fajri. Sebuah benda kecil berbentuk lingkaran, warnanya hampir sama dengan jaket Fajri, sehingga tak ada yang menyadari keberadaannya.

"Apa itu?"

"Alat penyadap," ucap Nabil sambil menghancurkan alat tersebut.

















Penyadap? Aduh rencananya bisa gagal dong

Badboy My Husband : End✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang