21

65 5 10
                                    

ARISTAN

- Happy Reading -

•••

Flashback on

"Tidak ada luka serius yang dialami pasien," ucap Dokter Dafa.

"Tapi, Dok, dia sempat terbentur trotoar jalan," tutur Aris.

Dokter Dafa tersenyum. "Benturannya tidak terlalu kuat. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia hanya perlu istirahat yang cukup untuk menstabilkan tubuhnya," jelasnya.

"Oh ya, kamu pacarnya, kan? Nanti tolong tebus obat ini di apotek, ya," ucap Dokter Dafa sembari menyerahkan selembar kertas bertuliskan resep obat yang harus ditebus.

"T-tapi saya bukan pacarnya, Dok," elak Aris. Memang benar, ia dan Intan belum jadian. Bagaimana mungkin mereka berpacaran?

"Tapi tadi Frans bilang kalau kamu itu pacarnya pasien atas nama Intan," ucap Dokter Dafa sambil mengerutkan keningnya bingung.

"Saya cuman temennya."

Jawaban Aris membuat pria berjas putih khas dokter rumah sakit itu tersenyum singkat. "Siapapun kamu, entah pacar atau temennya. Tapi dari yang saya lihat dari mata kamu, ada sebuah ketulusan di hati kamu buat dia. Right?"

Flashback off

Aris menatap langit-langit kamarnya. Perkataan Dokter Dafa saat di rumah sakit terus terngiang di otaknya. Ada ketulusan dihatinya untuk Intan? Apakah iya?

Saat ini, Aris sudah kembali ke rumah setelah kedatangan Raqilla dan Jesna tadi ke rumah sakit. Kedua cewek itu datang karena Aris yang memberitahukan pada mereka melalui panggilan telepon menggunakan ponsel Intan. Tentu saja mereka berdua dengan segera berangkat ke rumah sakit setelah selesai melaksanakan sholat Maghrib.

Ketukan pintu kamarnya terdengar membuat Aris menoleh ke arah sumber suara. Ia yang semula sedang berbaring pun lantas bangkit dari kasur dan berjalan untuk membukakan pintu.

"Den Aris, udah makan?" tanya Bu Dedah setelah Aris membukakan pintu kamarnya.

Aris menggeleng pelan. "Belum, Bu."

"Ya udah, kalau gitu Den Aris makan dulu, gih. Ibu udah bikinin makanan di dapur," suruh Bu Dedah sambil tersenyum.

"Mama sama Papa belum pulang?" tanya Aris seketika membuat senyuman Bu Dedah perlahan memudar.

Dari raut wajah Bu Dedah dapat Aris simpulkan bahwa kedua orangtuanya itu belumlah pulang, bahkan sejak empat hari yang lalu setelah pertengkaran yang terjadi di rumah ini.

Aris terkekeh pelan. "Nyatanya sejak kejadian dua tahun yang lalu mereka udah mulai nggak peduli sama aku. Iya, kan, Bu?"

Dengan segera Bu Dedah menggeleng. "Nggak, dugaan Den Aris itu nggak bener. Udah ah, jangan berpikiran kayak gitu. Ayo, mending Den Aris makan dulu," ajak Bu Dedah sengaja mengalihkan pembicaraan agar Aris tidak berlarut dalam pikiran-pikiran buruk terhadap kedua orangtuanya.

"Ibu ambilkan minum dulu, ya, Den," ucap Bu Dedah setelah mereka tiba di dapur. Aris hanya mengangguk menanggapi ucapan Bu Dedah.

Aris memperhatikan tiga kursi kosong di meja makan itu. Hanya ada kehampaan yang terasa. Bukan kehangatan dan keharmonisan seperti yang terjadi dua tahun lalu sebelum adanya insiden yang membuat keutuhan keluarganya perlahan retak dan hampir hancur.

Di luar, Aris memang dikenal sebagai sosok dewasa dan bijaksana. Akan tetapi, jika di rumah ia tetaplah seorang anak yang memerlukan kasih sayang dan perhatian orangtua. Ia tidak didewasakan oleh perasaan, melainkan oleh keadaan. Keadaanlah yang memaksakannya menjadi sosok yang dewasa serta bijaksana dalam menghadapi suatu hal dan masalah.

ARISTAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang