Tujuh

35.7K 4.7K 412
                                    

Aku belum pernah bikin lead male yg ngeselin berengsek. Wkwkwkk jadii seruu ihhh

Yuk yuk yuk ketemu Reno lagi
Hahahaa

Gila!

Reno benar, karena setelah itu Lana benar-benar merasa ingin gila saja.

Sebab Reno meninggalkannya, tanpa sekalipun merasa percaya pada apa yang ia katakan. Tangisan yang mati-matian Lana simpan, terburai detik itu juga. Ketakutan yang mencengkram, segera memberikan gambaran kengerian.

Berhari-hari kemudian, ia diterpa gelisah yang tiada habisnya. Berkali-kali datang ke kampus, ia tak menjumpai Reno di mana-mana. Pesan yang ia kirim pada pemuda itu di laman sosial medianya, tidak kunjung mendapatkan balasan. Ia tidak memiliki kontak pribadinya, tak tahu juga di mana alamat Reno tinggal.

Jalan satu-satunya, mungkin ia harus meninggalkan komentar di postingan yang diunggah Arin beberapa waktu lalu. Menandai punggung pemuda, yang begitu ia butuhkan untuk memecahkan kebingungan ini bersama-sama. Tetapi, Lana tak memiliki keberanian untuk itu. Jadi, yang ia putuskan adalah menunggu.

"Udah, nggak ada yang ketinggalan?"

Menekan keinginan ingin berlutut dan mengakui dosa-dosanya detik ini juga, Lana sengaja menghindari kontak mata dengan ayahnya. "Udah semua kok, Yah," ucapnya tercekat. Pura-pura sibuk memeriksa ranselnya, Lana menelan ludah ketika ibunya kemudian datang dengan tas yang penuh dengan perbekalan untuknya.

"Ayah, ini gimana sih? Tadi Bunda bilang, jangan lupa tas yang ini. Kok malah sengaja dilupain sih?"

"Mana mungkin Ayah sengaja, Bun," ujar ayah dari tiga orang anak tersebut. "Sini, masukin bagasi masih muat kok."

Tak mampu menahan matanya yang memanas, Lana cepat-cepat memasang masker di wajah. Tak lupa, ia gunakan helm segera. Supaya bila nanti air matanya tumpah, hal tersebut tidak terlalu kentara di mata kedua orangtuanya.

"Lan, pokoknya semua dimakan, ya? Bunda udah tulisin nama kamu di kotak-kotak makanannya. Simpen aja di kulkas dapur kosan kamu, ya?"

"Iya, Bun," gumam Lana sambil menggigit lidah.

Demi Tuhan, keinginan untuk menangis benar-benar menguasai diri.

Testpack yang ia beli waktu itu, masih menunjukkan dua garis merah yang kini terlihat samar. Ia simpan benda itu dengan berlapis-lapis tisu dan menaruhnya pada bagian ransel terdalam. Akan ia buang sesampainya di tempat kos nanti.

Atau, haruskah ia simpan sampai mati?

"Lan?"

Mungkin, karena ia terlalu banyak menunduk. Atau bisa jadi, karena naluri ibunya yang terlalu luar biasa. Hingga membuat wanita setengah baya yang bernama lengkap Aulia Indrayani itu akhirnya memutuskan menyentuh bahu Lana yang bergetar.

Mati-matian, Lana gigit bibir bawahnya. Tangannya mengepal kuat. Berharap, ia masih mampu menahan laju air mata dan tak membuat pengakuan gila yang nantinya akan ia sesalkan.

"Jangan nangis lho. Nanti kalau kangen rumah, ya, pulang. Kangen Bunda, ya, bilang. Biar Bunda yang datang ke kos kamu. Nginep di sana sekali-sekali."

Lana hanya menjawabnya dengan anggukkan di kepala. Sebab, ia takut bersuara. Atau tangisnya akan pecah.

Demi Tuhan, ia sudah tidak mendapatkan datang bulannya. Dan ketika ia nekat mengeceknya, garis dua membuat jiwanya terasa bagai di neraka.

Nyatakah semua?

"Lana?"

Suara ayahnya menegur. Membuat Lana mau tak mau harus menatap sosok tegas itu dengan nyali mengkerut takut. "I—iya, Yah?" suaranya bergetar parah. Kedua orangtuanya pasti tahu bahwa kini ia tengah melawan keinginan tuk menangis.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang