Dua Puluh Tujuh

36.6K 5.3K 475
                                    

Yess, aku hadir kembali meramaikan malam pergantian tahun kalian yg padat hahaha

Yukz beb, kita ketemu calon bapak n ibu yg masih ribet ini

Happy reading

Bagai layangan, perasaan adalah media yang paling sulit dikendalikan. Mungkin, benang yang terjulur panjang mampu membuatnya tetap bertahan dari sepoi angin yang menerbangkannya di awan. Namun, semua hanya sementara. Sebelum kemudian badai datang dan memutuskan benang yang kita pegang. Layang-layang terbang, tersangkut dan tak jarang terburai mengenaskan.

Kadang kala, semesta menakdirkan perasaan pada orang yang tak mampu tergenggam. Katanya, supaya belajar bagaimana mengerikannya saat karam. Tetapi mungkin semesta lupa, betapa menyakitkannya tenggelam ke dasar. Tanpa seorang pun berkeinginan mengulurkan tangan.

"Lo kenapa sih, harus lari pas gue datang? Lihat hasilnya, lo nabrak 'kan?!"

Arin membuang mukanya ke arah lain. Ia meringis tipis, ketika luka di lengannya mulai dibasuh oleh alkohol. "Aww, perih Bang," ringisnya pelan.

"Rasain! Siapa suruh lo sok cantik lari-larian kayak tadi. Jadi pemain film India, lo?"

Jadi, Arin sedang melakukan perang dingin dengan Reno. Makanya, ketika tak sengaja bertemu di parkiran mobil tadi, Arin langsung berlari pergi. Apalagi ketika Reno mulai meneriaki namanya, Arin segera mengambil langkah seribu.

Hasilnya, Arin malah tersungkur jatuh. Lengannya tergores paving block, setelah ia tak sengaja menabrak mobil yang tengah berusaha parkir.

"Di mana-mana, orang jalan yang ditabrak sama mobil! Lo doang, yang justru nabrak mobil!" Reno menekan-nekan luka Arin dengan kapas yang sudah ia celupkan ke dalam alkohol.

"Aduh! Abang, ih!" Arin menarik lengannya yang terasa perih. "Abang niat ngobatin nggak sih?"

"Nggak!" Moreno mencibir, kembali ia tarik lengan Arin. "Makanya, nggak usah aneh-aneh deh lo. Sok ngambek nggak jelas," omelnya.

"Makanya, kalau nggak bisa nepati janji. Nggak usah janji-janji," balas Arin segera. Ia ingat betul kesalahan laki-laki di depannya ini.

"Kan udah digantiin sama Marvel," sahut Reno santai.

Namun reaksi Arin justru tak terduga. Ia meraih tasnya dan mulai memukuli Reno. "Kenapa sih Abang jadi nyebelin gini?!" sunggutnya kesal. "Kenapa harus janji-janji kalau memang nggak bisa ditepati?!" serunya berapi-api. "Abang yang janji sama Arin! Kenapa harus Bang Marvel yang nepati janjinya Abang?!"

Reno tahu kesalahannya.

Ia paham betul, mengenai kemarahan Arin padanya.

Tetapi mau bagaimana lagi?

Ada Lana yang membutuhkan tanggung jawabnya hari itu.

"Sorry," ringisnya penuh rasa bersalah. Kemudian menggeser kotak obat yang tadi diberikan oleh mahasiswa FK tadi. "Nanti pulang bareng—"

"Jangan janji lagi, Bang."

Baiklah, Reno memilih diam.

Sembari menghela napas, ia memutuskan berdiri. Secara acak, ia memindai seluruh perabot yang berada di ruang kesehatan ini. Sepertinya, ini kali pertama dirinya menginjakkan kaki ke gedung FK. Sebagai anak ekonomi, Reno justru lebih sering menghabiskan waktunya di depan gedung fakultas seni sembari menunggu diperbudak Arin.

Well, di kampus Reno, ruang kesehatan hanya tersedia di fakultas kedokteran. Biasanya, untuk luka ringan atau bila ada mahasiswa yang merasa pusing atau pingsan, akan dialihkan langsung ke gedung FK ini. Yang berjaga di ruang kesehatan adalah mahasiswa tingkat akhir dengan giliran piket yang sudah dijadwalkan. Tapi tadi, ketika Reno membawa Arin ke sini, kakak tingkatnya yang sedang piket mendadak ada urusan. Tidak bisa menangani Arin, jadi Reno yang berinisiatif mengobati sendiri.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang