Dua Puluh Dua

32.3K 5.1K 361
                                    

Aku up sore2 gini aja yaaa, soalnya takut lupa nnti malam hahahaa

Happy reading buat kalian semua

Yuk ketemu Lana yg lagi d rumah ortunya yesss

Reno benar.

Lana, tak mampu menahan rasa mualnya lama-lama.

Pemuda itu juga tidak salah, ketika mengatakan setiap pagi biasanya Lana terlihat bak seorang pemabuk yang berjalan sempoyongan setelah menghabiskan waktu lama untuk menguras isi perut di kamar mandi kostnya.

Nyatanya, memang seperti itulah Lana saat ini.

Ia menerjang pintu rumah, lalu berlari menuju kamar mandi. Gejolak di perutnya tak terbendung lagi. Masker dua lapis yang ia baluri oleh tumpahan minyak kayu putih, faktanya tak mampu meredam gejolak mual yang melandanya secara menakjubkan tiap pagi.

Di pasar saja, sudah tak terhitung berapa kali ia harus meninggalkan ibunya saat sang ibu sibuk memilah-milah sayur dan ikan. Menepi dari keramaian, lalu muntah-muntah di sana. Seperti biasa pula, yang keluar dari mulutnya hanya berupa cairan saja. Kadang kala terasa begitu asam. Hingga pernah, rasa pahit menyerang indera perasanya.

Tok ... tok ... tok ....

"Lana! Kamu nggak apa-apa, Lan?"

Lana tak mampu menjawab, ia duduk di depan kloset dan menundukkan kepala. Perutnya terus bergejolak. Membuat mual dan muntahnya tak lagi tertahankan. Lana ingin membekap mulutnya kalau bisa. Supaya ibunya tak mendengar suaranya, namun ia tidak mampu lagi melakukan hal itu. Sementara pusingnya pun mulai menghantam tak tahu diri. Seketika saja, Lana merasa lemas. Napasnya tercekat, lalu ia merasa sesak.

Rupanya, ikatan korsetnya terlalu kencang.

Rasa sesak yang ia rasakan, bersumber dari perutnya yang sudah ia ikat sedari tadi. Tak peduli lagi pada sang ibu yang tengah meneriaki namanya di luar pintu, Lana membuka korsetnya segera. Kemudian bernapas lega, ketika bebat di perutnya terbuka.

Hah ....

Ia lemparkan korset tersebut ke sudut kamar mandi.

"Lana? Lan?"

Ia masih tak sanggup menyahuti. Tengah menarik napas panjang seraya menekan flush, Lana pun beringsut mundur. Ia bersandar ke dinding keramik kamar mandinya. Belum mampu menjawab panggilan sang ibu, ia memilih membelai perutnya terlebih dahulu. "Maaf, ya?" bisiknya sendu. "Kalian sakit, ya, di dalam sana?" ia usap air mata yang jatuh di pipi. "Maafin Mama, ya?"

Memeluk perutnya, Lana meredam tangis. Kepalanya menengadah ke atas, menghalau sesak yang terlanjur bermukim di dada. Barulah setelah merasa lebih tenang, ia singkap hoodienya ke atas. Memperlihatkan perutnya yang membuncit mungil, kadang kala ia merasa gemas. Namun, hal itu pasti tak berlangsung lama. Karena, bila ia mengingat kedua orangtuanya, Lana tahu ia penuh dosa.

"Kenapa, Bun?"

Deg.

Lana segera menatap horor pintu kamar mandi yang berada di sebelahnya. Walau tertutup rapat, entah kenapa suara sang ayah mampu membuat Lana ketakutan seperti ini.

"Ini lho, Yah, Lana dari tadi muntah-muntah. Di pasar juga beberapa kali dia muntah. Terus tadi kelihatan pucet banget. Pas Bunda pegang tangannya malah dingin. Makanya, Bunda yang bawa motor pulang dari pasar tadi."

"Lana? Lana? Kamu sakit, ya? Lana, kenapa nggak jawab Ayah?"

Mati!

Lana menggigit lidahnya. Sambil menghela napas panjang, ia mencoba mengusir ketakutan yang kini bersemayam di jiwa. Ia harus menyahut. "La—Lana nggak apa-apa kok, Yah," ia coba menegaskan suaranya. "La—Lana mau langsung mandi, Yah," ia tidak akan membuka pintu.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang