Empat Belas

36.3K 5K 353
                                    

Yuk yuk, kitaa misuh2 lgi bareng Moreno yg belum sadar2 hahahaa

Happy reading

Pada gelap yang bergerak makin kelam. Ada kehampaan yang datang menyergap. Niatnya, ingin memberikan damai tanpa harap. Memaksa manusia berlakon pasrah seolah mati. Namun, angin yang berembus cepat, membawa resah serta asa di tengah minimnya celah. Mengajak bersemoga, supaya segalanya tidak makin terperosok salah.

Menarik napas panjang dengan matanya yang membengkak, Lana terpaksa menjawab panggilan video dari ibunya. Tak ada gunanya mengaplikasikan conceler, ibunya teramat jeli menangkap keganjilan dari tiap-tiap anaknya. Jadi, yang kini Lana persiapkan bukanlah menyembunyikan kelopak matanya yang bengkak, melainkan alasan.

Ya, ia harus mendapatkan alasan yang masuk akal.

"Kamu habis nangis, Lan?"

Benar 'kan?

"Lana, kamu habis nangis?"

Harusnya, Lana segera menggeleng agar ibunya tidak sepanik itu. Namun, begitu layar ponsel bergeser dan menampilkan seluruh wajah ayahnya, Lana tidak bisa berbuat apa-apa. Pasrah akan dicerca, Lana hanya berharap tidak buka suara terkait realita yang kini tengah mengukung hidupnya. "Yah?" ia sapa ayahnya pelan. "Ayah sehat 'kan?"

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa kok, Yah," ucapnya lemas.

"Nggak kenapa-kenapa, kok nangis?"

Lukman Ahmad Yasiri, tidak akan menjadi kepala sekolah bila tidak bijak. Juga, tak mungkin berkesempatan pindah ke Dinas Pendidikan, jika tidak paham celah yang ada. Makanya, Lana selalu takut terhadap ayahnya. Ia nyaris tidak mampu berbohong bila sudah ditatap sedemikian tajam.

Namun, haruskah ia katakan mengenai keadaannya yang sekarang?

Mampukah ia berkata jujur tentang kehamilannya?

Mengenai bayi kembar yang berada di rahimnya?

Demi Tuhan, Lana tak bisa.

"Lana? Kamu kenapa? Kenapa nangis, hah?"

Nada mendesak itu membuat air mata Lana ingin kembali memperlihatkan diri. Mati-matian ia bertahan, menyematkan senyum kecil sambil menggelengkan kepala. "Perut Lana sakit, Yah. Euhm, Bunda ngerti itu pasti," ringisnya seraya mendekap perut dengan sebelah tangan. "Bun, Lana lagi nyeri haid lho," dustanya memberi cengiran. "Tadi sore sakit banget, Bun. Makanya, Lana nangis."

"Betul itu?"

Bukan ibunya, melainkan ayah yang masih mendesak. "Bener lho, Yah. Tanyain deh ke Bunda gimana sakitnya. Nggak ada yang bisa dititipin obat. Jadi Lana nangis aja di tempat tidur. Eh, malah ketiduran. Makanya, mata Lana jadi kelihatan bengkak banget ini."

"Nggak bohong?"

Lana menggeleng, senyumnya tampak kaku.

Ia berbohong.

Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, ayahnya menyingkir dari layar ponsel. Otomatis, Lana mendesah lega. Namun tak lama kemudian, wajah ibunyalah yang memenuhi layar.

"Jadi gimana sekarang? Udah nggak sakit lagi?"

Lana menggeleng sambil menggigit bibirnya.

"Kamu dapet haid hari pertama atau gimana, Lan? Sakit banget apa?"

Bahkan, sudah tiga bulan ia tidak mendapatkan tamu bulanan. Bagaimana mungkin, ia bisa merasakan nyeri haid?

Ada cucu Bunda di kandungan Lana, Bun.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang