Tiga Puluh Tiga

33.7K 5.8K 570
                                    

Yeayy, saya hadirott saudara2 hahahaa

Edisi kali ini khusus Reno yess beb. Lana lg kupingit soalnya wkwkwk

Yaudah yuk, happy reading ...

"Nikah sama siapa? Kodok?" seketika saja Arin melupakan kekesalannya. Ia tertawa sambil menyiprati Reno dengan air. "Sekarang Abang suka ngehalu, ya? Dulu aja ngatain aku halu," suasana hatinya perlahan membaik.

Reno sudah menduga tak akan ada yang percaya bila ia tidak mengisahkannya.

Walau melelahkan, ia rela mendongengkannya kali ini. Lagipula, memang itulah alasan yang membuatnya mendatangi Arin malam-malam begini. Menyerongkan posisi duduk, Reno menatap Arin lekat. Ia hela napas panjang seraya memasang mimik serius di wajah. "Lo inget acara Dream Partner yang dulu pernah lo tanyain ke gue?"

Karena tahun ini Arin memiliki kesempatan untuk mengikutinya. Tetapi Reno sudah mewanti-wanti Arin supaya tidak sekalipun menyentuh secret website itu untuk mendaftarkan diri.

"Acara itu beneran nggak penting, Rin. Acara itu bencana. Dan sialannya, gue yang bakal jadi contoh nyata, dari gimana nggak berbobotnya acara kampret itu," ujar Reno berapi-api. "Astaga, gue pengin ngehajar Ilham lagi kalau inget sama tuh acara," ia sugar rambutnya dengan resah. "Jadi intinya, gue ngeharamin elo untuk ikut andil di acara itu."

"Tapi, Bang, Wilona mau ikut."

"Jangan!" Reno berkata dengan tegas. "Besok gue samperin dia sekalian di kampus. Tapi sekarang, lo yang harus gue tatar dulu. Jangan pernah ikut Dream Partner, oke? Atau gue bakal ngadu sama Om Wira."

"Abang, ih!"

Reno sangat serius kali ini. "Sumpah, nggak ada manfaatnya, Rin. Malah, lo bakal dapet apes kalau ketemunya sama cowok modelan kayak gue."

"Memangnya Abang kenapa?"

Dirinya tidak apa-apa.

Hanya saja, Hasrat sialan di tubuhnya, mengacaukan segalanya.

Menghela napas bak orangtua, rasa-rasanya Reno sudah sangat rentah. Entahlah, ia merasa sudah lebih tua dari usianya saat Lana mengumumkan kehamilan itu padanya. "Gue bejat banget jadi cowok, Rin. Dan harusnya lo jauh-jauh dari gue," ia hela napas lagi. Seakan beban membiayai dua anak kembar untuk kuliah telah berada di depan matanya. Ck, kalau begini terus, ia bisa memiliki uban tak lama lagi. "Gue ngehamilin cewek di kampus kita di acara itu."

"Abang!" Arin terkesiap. "Ih, Abang ngomongnya serem. Amit-amit cepet, Bang. Nanti diaminin malaikat baru tahu," ia pukul lengan Reno supaya sadar dari omongan melantur pemuda itu barusan.

Reno tertawa.

Ia mengacak-acak rambut Arin hingga berantakan. "Udah, Rin. Malaikat udah ngeaminin. Makanya, lusa gue mau nikah," ia tersenyum ketika mengatakan kebenaran itu. "Tapi lo nggak gue undang. Gue takut, lo nangis dan bilang nggak sah pas gue ijab Kabul," Reno terkekah. Walau nyatanya, ia menahan miris di dada. "Gue beneran mau nikah, Rin."

"Bercandanya udah nggak lucu, Bang," Arin memperingatkan. "Abang belum tamat kuliah. Papi ngelarang betul, anak-anaknya nikah sebelum lulus. Abang mau apa, dimusuhin papi?"

Mendengkus tipis, Reno memain-mainkan kakinya yang tercelup di dalam air. Duduk di tepi kolam renang seperti ini, memang sering ia lakukan dengan Arin di masa lalu. "Papi udah musuhin gue, Rin. Dan gue nggak bercanda. Ini serius, Rin. Lusa, gue jadi suami orang. Sekaligus calon bapak buat dua bayi kembar," Reno mengoceh sembari memperlihat ekspresi miris di wajah. "Oh iya, bayi gue kembar, Rin. Jago 'kan, gue?"

Walau ia tampak cengengesan, percayalah hatinya sedang tidak baik-baik saja. Namun, demi meyakinkan Arin, bahwa ia bahagia dengan garis takdir ini, Reno berusaha memalsukan senyumnya.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang