Empat Puluh Satu

36.7K 5K 614
                                    

Duh, aku keasyikan ngetik kemarin2 sampai lupa up. Hahahaa

Sorry, ya, happy reading ...

Btw, mari berkumpul di multiverse nya ndaquilla hahaha. Di mana tokoh satu di semesta yg lain, bisa saling mengunjunhi wkwkwk

Seharusnya, besok Reno baru mulai bekerja.

Namun sore tadi, Wilona mengabarkan padanya agar datang ke ninetyfour malam ini. Wilona bilang, sang pemilik kelab itu ingin bertemu dengannya. Setelah kemarin, ia melakukan sesi wawancara santai dengan adik dari calon bosnya tersebut.

Wilona bilang, kehadirannya kemarin hanya sebagai bentuk formalitas saja. Sebab, ia sudah dijamin diterima bekerja di sana. Dan hal tersebut terbukti benar. Karena Reno langsung saja menghadap HRD di sana. Meminta data dirinya, lalu mulai membicarakan gaji. Memberinya dua opsi gajian. Dan Reno memilih gaji yang dibayar mingguan. Ia juga menyerahkan nomor rekening banknya yang aktif.

Ia hanya tinggal datang besok pagi. Karena masih harus diberi pembekalan dan juga latihan dalam melayani tamu. Termasuk bagaimana menyajikan minuman yang baik terhadap tamu-tamu di kelab itu.

Tetapi, panggilan dari Wilona tadi benar-benar membuat dada Reno berdebar kencang. Rasa takut mendominasi hatinya. Ia akan mati bila ditolak karena tak memiliki kualifikasi yang baik sebagai calon karyawan. Berkendara dengan jantung yang berdentam tak aman, Reno berusaha tenang walau nyatanya sulit ia lakukan.

Namun beruntungnya, Wilona masih sudi menemaninya. Mereka janjian bertemu langsung di kelab itu. Sebab, Wilona sendiri pun tidak tahu mengapa si pemilik kelab ingin bertemu dengannya.

"Bang Reno!"

Reno sedikit bernapas lega, ketika akhirnya Wilona datang. Ia sengaja menunggu gadis itu di depan pintu masuk ninetyfour yang masih sepi. "Nona, sebenarnya kenapa sih? Kok gue dipanggil malam ini?" Reno tak dapat menyembunyikan kegusarannya.

"Nggak ada apa-apa, Bang. Bang Bara cuma mau ketemu sama lo doang. Mereka pada curiga aja sama gue. Soalnya, gue emang nggak pernah sih bawa-bawa orang buat kerja di sini. Eh, ini tumbenan aja gue minta kerjaan sama mereka. Gara-gara Bang Raja tuh yang heboh."

"Cuma mau ketemu doang, 'kan, Non?"

"Iya, Bang Reno. Takut amat sih?" Wilona tertawa. Lalu, ia pun menunjukkan kartu akses yang ia miliki pada penjaga ninetyfour. Meminta diantarkan langsung ke ruangan sepupunya itu. Ia meminta Reno untuk mengikutinya. "Santai aja, Bang. Paling, mereka tuh mau ngecengin gue. Dipikir mereka, lo cowok gue, Bang," Wilona tertawa.

"Serius, cuma gara-gara itu doang?" Reno mencoba meyakinkan. "Bukan karena gue ditolak 'kan?"

"Iya lho, Bang. Lihat aja nanti, pasti mereka cuma nanya-nanya hal nggak penting," tawa Wilona terdengar begitu geli. "Maklumlah, Bang. Gue tuh cucu terakhirnya keluarga ini. Jadi, mereka heboh banget nyebar hoax kalau gue udah pacarana."

Mencoba percaya pada apa yang Wilona katakan, diam-diam Reno mendesahkan kelegaan. Ia bersandar pada dinding lift sembari menikmati interiornya. "Lo udah sering ke sini, Non?" tanya Reno berbisik. Saat ini, mereka tengah menaiki elevator menuju lantai lima. Dan lagi-lagi, Reno harus dibuat terpukau oleh interior yang dimiliki kelab ini.

"Maksud Abang ke ruangannya Bang Bara?"

"Iya."

"Baru sekali kok. Gue tuh anak bawang banget di sini, Bang. Suka nggak dibolehin sama saudara gue yang lain. Lagipula, gue juga nggak punya temen yang hobi ngedugem," ia kembali tertawa. "Main bareng Arin paling cuma sampai sorean. Ayahnya galak," kekeh Wilona.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang