Dua Puluh Enam

35K 5.3K 466
                                    


Aku lupa kalo aku blm update ini hahhaaha
Lagi mager akuutt bgt aku lhooo, suka lupita jadinya sama Reno yg lgi ngegembel di terminal wkwkwk

Yaudahlah, happy reading ya
Moga happy ending

Nasib sial yang menggerus hidup Lana dan Reno hari itu, tidak berhenti saat mereka memutuskan pergi dari rumah orangtua Lana. Lebih dari itu, Reno harus dibuat setengah mati panik ketika pada akhirnya Lana kembali muntah-muntah.

Sesuai rencana, mereka harus mengisi perut di rumah makan yang berada di dekat terminal. Namun, kondisi tempat makannya sendiri tidak terlalu baik menurut Reno. Cat dindingnya kusam, lantai keramiknya kotor dengan noda-noda sepatu bahkan ia mendapati lumpur di keset kaki yang diletakkan di depan pintu masuk rumah makan tersebut.

Selain itu, banyak kucing berkeliaran. Bahkan, ada yang memanjat meja dan dibiarkan. Reno bergidik jijik, namun memaksakan diri untuk tetap masuk ke sana. Sebab, hanya tersisa satu bus lagi yang akan berangkat setengah jam dari sekarang. Bila mereka tak mengisi perut dengan cepat, mereka pasti ketinggalan bus. Lagipula, wajah Lana sudah terlalu kuyu untuk ia bawa mencari tempat makan lain.

Tetapi melihat kotornya tempat ini, Reno justru khawatir bahwa ia yang akan muntah.

Astaga, bagaimana ya, Reno harus menjabarkannya?

Meja makannya terbuat dari kayu yang dilapisi oleh taplak meja berbahan plastik. Terlihat berminyak, dan tidak higienis. Bagian paling menyebalkannya, ruangan tersebut berbau amis. Piring-piring kotor yang bertumpuk di meja, tidak segera dibereskan. Lalu, asap rokok mengepul dan membuat sesak.

Belum apa-apa, Lana sudah mual.

Terhitung tiga kali, Reno mengantarkannya ke toilet. Dan di sana, Lana langsung muntah-muntah.

Alhasil, tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut perempuan itu.

Karena Lana meminta langsung keluar begitu, tanpa sempat memesan apa-apa.

"Kita pesan teh manis dulu buat lo, ya, Lan?" mengambil dua kursi plastik dari dalam, Reno membawanya ke teras rumah makan tersebut. "Lo duduk sini dulu, biar gue yang pesan, ya?"

Sejujurnya, Reno juga sangat lelah.

Wajahnya yang tadi terkena tamparan bertubi-tubi dari ayahnya, mulai terasa nyerih kembali. Perutnya juga sakit. Ketika ia menarik napas panjang, ada nyeri yang meyusup di bawah tulang rusuknya.

"Lan, sambil makan roti, ya?" ia menyodorkan beberapa bungkus roti kering yang ia beli dari pedagang asongan tadi. "Makan nasi pakai ayam goreng mau? Tadi gue tanya, menunya tinggal gulai nangka, balado telur, ayam sambal, sama ayam goreng. Lo mau makan pakai yang mana?"

Lana menggeleng. "Mual banget, Ren," gumamnya dengan kening yang sudah dipenuhi keringat. Ia menekan perut bagian bawahnya yang terasa nyeri. "Rasanya lemes banget."

"Jadi mau gimana?" Reno sendiri juga bingung. Ia belum mahir mengatasi situasi seperti ini. Lana benar-benar tampak pucat. Entah sudah beberapa kali, ia menghapus keringat di kening Lana sejak tadi. "Makanya, coba makan dulu, ya?"

Lagi-lagi, yang bisa Lana lakukan hanyalah menggelengkan kepala. Membayangkan makanan yang tadi disebutkan Reno, justru membuatnya ingin kembali muntah. Pusing sudah menyerang kepalanya juga. Bersandar pada dinding di belakang, ia tidak menyadari pada sebelah tangannya telah mencengkram lengan Reno dengan erat. "Kalau makan, nanti muntah, Ren. Dan rasanya sakit banget," cicitnya sambil menangis. Demi Tuhan, ia tidak bermaksud secengeng itu, hanya saja entah kenapa ia merasa begitu menyedihkan. "Gue laper," ia malah terisak. "Tapi nggak bisa makan."

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang