Delapan Belas

38.7K 5.5K 611
                                    


Yess, mari bertemu dengan Moreno kesayangan akuu hahaaha

Happy reading

Melewati waktu yang kelabu, semburat jingga sudah terlebih dahulu menghiasi cakrawala. Dengan kuasnya yang beraneka, senja melukis langit seolah kanvas raksasa itu adalah rumahnya. Menjentikkan kilau, menurunkan sedikit temaram. Membubuhkan banyak oranye di udara, keelokkan sore pun bersiap menyambut petang.

Dari siang yang terik tadi, Reno menghabiskan waktunya bersama Lana. Hingga senja hampir menyingsing dan keduanya belum ingin membicarakan hal mengerikan yang hampir saja terjadi.

"Udah?"

Lana mengangguk lemas.

"Bisa nyuci mukanya?"

Sekali lagi, Lana menjawab pertanyaan itu dengan angguk pelan.

Namun, Reno tak percaya. Ia terlihat gemas dalam memandang Lana. Menghela dengan kening berkerut-kerut, ia mencoba menahan diri agar tak memulai konfrontasi hanya karena Lana merasa sok kuat sendiri. "Morning sickness itu biasanya pagi 'kan? Kok lo ngalaminnya sepanjang hari sih?"

Entahlah, Lana pun tidak mengetahuinya.

"Kayaknya, tuh bocah berdua, emang sengaja ngerjain lo deh," celetuk Reno asal. "Lo bisa nggak sih cuci muka?" tanya Reno gregetan. Pasalnya, sedari tadi Lana terlalu banyak menghela. "Kalau mau minta tolong tuh ngomong, Lan. Gengsi banget lo gedein."

Turut memasuki kamar mandi di apartemen Sean. Reno menghampiri Lana yang terlihat kapan saja siap pingsan. Membantu perempuan itu membasuh wajah, Reno pun membenarkan kunciran Lana yang longgar. Mengabaikan raut Lana yang terlihat enggan, Reno berusaha merasa bodoh saja ketika memaksa tubuh Lana bersandar padanya.

"Tadi gue nelpon Clara," Reno mencari handuk kecil di atas kabinet westafel. Setelah menemukannya, ia mengelap wajah Lana dengan perlahan. "Clara bilang, kalau lo lemes akibat muntah-muntah terus, ada baiknya lo di rawat di rumah sakit aja."

"Gue nggak mau," sergah Lana segera.

"Tahu," sahut Reno seketika. "Makanya gue bilang ke Clara, bakal buat lo makan dan nggak kekurangan nutrisi."

Dari pantulan cermin, kening Lana mengernyit. "Gimana caranya?" tanyanya benar-benar lemas.

"Kasih tahu gue apa aja yang pengin lo makan. Apa pun yang mau lo makan, bilang ke gue. Gue bakal cari."

Lana diam, begitu pun dengan Moreno.

Mereka bertatapan sejenak lewat pantulan cermin. Namun sejurus kemudian, Lana memutus tatapan mereka. "Sekarang, gue nggak pengin apa-apa," gumamnya.

Reno mengangguk, ia sudah selesai mengeringkan air di wajah Lana. "Nanti, Lan. Kapan aja lo pengin makan, kasih tahu ke gue," ucap Reno serius. "Yuk, duduk di sofa aja. Lama-lama di sini, gue pegel," celetuknya menyentuh pundak Lana. "Ngomong-ngomong, Lan," Reno menelan ludah.

"Kenapa?"

"Ehem," Reno tampak salah tingkah. Namun kalau tak ia sampaikan, nanti ia yang salah. Setelah membawa Lana duduk nyaman di sofa, Reno pun memilih duduk berseberangan dengan perempuan itu.

"Kenapa, Ren?"

Menghela napas, Reno menggaruk kepala. "Clara bilang, anaknya harus sering-sering diajak ngobrol," wajahnya bersemu tanpa sadar. Pandangannya jatuh ke arah perut buncit Lana yang kini telah berlapis hoodienya. "Terus, lo kudu sugesti pikiran lo sendiri. Lo harus makan, Lan. Karena bayinya ada dua," kembali Reno merasakan wajahnya merah padam. "Mereka butuh nutrisi."

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang