Dua Puluh Delapan

36.6K 5.7K 457
                                    

Akhirnyaa ya gengss,aku kunjungi lagi lapak ini hahahaa
Taun kemarin yes, eike bye-bye ulala sama Reno n Lana.

Maklumlah, kemarin2 aku galau. Terus memutuskan cuti nulis buat nikmati kegalauan di tinggal Raja Jeongjo sama Selirnya huhuhu

Pokoknya yg lupa jln ceritanya,baca aja part sebelumnyaa ya

"Lo beneran nggak apa-apa gue tinggal di sini?"

Lana tersenyum tipis seraya mengangguk. "Nggak apa-apa, Kak. Gue udah mendingan kok, Kak. Tadi pusing aja karena telat makan," dustanya terangkai dengan apik. "Makasih banget teh manisnya, ya, Kak," ucap Lana setelah tadi berhasil menandaskan setengah isi dalam gelas kaca tersebut. Perutnya masih terasa hangat. "Gue mau rebahan aja bentar, Kak. Terus pulang ke kost."

Duduk di tepi ranjang di ruang kesehatan, Lana sungguh-sungguh merasa jauh lebih baik sekarang. Ia bisa saja langsung pulang, tetapi entah kenapa ia memilih berada di sini lebih lama lagi.

Mungkin, demi menjaga hatinya dari kenyataan bahwa Reno memilih mengantar Arin pulang. Alih-alih berada di sini bersamanya.

Astaga, memangnya siapa sih dirinya?

Kenapa ia terus merasa tak tahu diri seperti ini?

Hanya karena ia mengandung anak dari pemuda itu, bukan berarti ia bisa memilikinya 'kan?

Terlebih setelah tadi, ia memutuskan untuk tak saling menyapa. Berpura-pura tidak mengenal rasanya jauh lebih baik, dibanding harus menjelaskan mengapa mereka bisa bertegur sapa. Karena dalam kisah ini, memang ia yang bersalah. Ia yang memaksa memasuki hidup Moreno.

Sudahlah, mau bagaimana lagi?

"Kak, gue tadi nggak sengaja muntah—"

"Tenang, gue udah minta Mang Yadi buat bersihin," Kemal memotong perkataan itu sebab tahu betul apa yang akan Lana katakan. "Gue juga udah kasih uang rokok buat dia. Tapi, kalau nanti lo ketemu dia dan mau nambahin lagi juga nggak masalah kok, Lan."

"Sumpah, Kak, makasih banget, ya?" Lana merasa makin tak enak. "Gue malu-maluin banget, ya, Kak?" ringisnya malu. "Gue bener-bener ngerepotin. Padahal, tadi niatnya justru buat ngeringanin beban yang Kakak bawa," lirihnya pelan.

"Santai, Lan. Namanya juga orang sakit," balas Kemal dengan cengiran. Lalu, ia pun menatap arlojinya. "Eh, gue harus balik bantuin anak-anak danus nih. Lo beneran nggak masalah gue tinggal sendiri 'kan?"

"Iya, Kak, nggak apa-apa. Sekali lagi, makasih ya, Kak?"

"Sip. Kalau perlu apa-apa, jangan ragu hubungi gue, Lan. Atau kalau nanti butuh tumpangan buat balik, kabari gue aja."

Ah, mana mungkin Lana bersedia merepotkan pemuda itu lagi.

Namun, demi kesopan-santunan, ia pun mengangguk. "Sekali lagi, makasih, Kak."

Ditinggal sendiri, Lana kembali menekuri takdir. Tangannya terulur meraba perut. Membelai bagian tersebut dengan tatap sendu. Benaknya tak mampu mengusir bayang-bayang Moreno begitu saja.

Ada sesak yang diam-diam ia pelihara.

Ada resah yang tiba-tiba menyusup dalam dada.

"Gue harus tahu diri," gumamnya lirih. Memilih membatalkan niatnya untuk merebahkan diri, Lana memutuskan langsung kembali ke kostnya saja. Lebih baik menyendiri di sana. Ia butuh ruang demi menentramkan gundahnya.

Ketika turun dari ranjang, pintu ruang kesehatan itu terbuka. Secara refleks, Lana segera melepaskan tangan di atas perut. Berusaha bersikap biasa, karena ia pikir bahwa yang datang adalah senior-senior FK.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang