Tiga Puluh Lima

38.9K 6.2K 568
                                    

HALOOOO, ya ampuun lamaa yaa aku meninggalkan kaliaann wkwkwkk
Maaf yaa, sakit membuatku tak berdayaaa hahahaa

Yuklah, yg kangen sama bapaknya anak2 siapa hayooo???

Siap dong, ketemu pengantin baruu yaaa hahaha
Btw, yg lupa sama ceritanya, cek aja part sebelumnyaa yaaaa

Happy readingg

Yang mereka tahu, menikah adalah berkumpulnya dua kutub bahagia di satu momen sakral yang telah dijanjikan semesta. Menyumbangkan banyak tawa di hari yang mereka sebut indah. Menyulam merah muda di udara, menyisipkan ribuan asa. Setelah itu, membalutnya dengan jutaan doa. Menerbangkannya ke angkasa, supaya Tuhan melihat riuhnya semoga yang berkumandang untuk insan yang dimabuk asmara.

Astaga, indahnya menikah.

Namun, pasangan yang saat ini disandingkan bukanlah mereka yang bermanis-manis dalam cinta. Lewat dulangan air mata, mereka justru merajut derita. Menjadi pemeran utama dalam sketsa haru biru, mereka bukanlah para penderita sakit yang divonis segera meninggalkan jagad raya tuk bertemu pencipta. Bukan pula pengemis kelaparan yang menadahkan tangannya ke mana-mana.

Jelas sekali, yang bersanding tersebut adalah sepasang remaja. Masih muda dengan raga gagah yang dilimpahi sehat tiada tara. Tetapi, siapa yang menyangka, bahwa memikul sesal telah membuat keduanya menampilkan raut renta yang buat siapa saja tak tega.

Bahkan, ketika Reno akhirnya dapat mengucapkan kalimatnya dengan benar setelah dua kali mengulang ijab, tak ada yang sungguh-sungguh mendesahkan kelegaan atas usaha berat yang kontan saja membuat ia pucat.

Berhadapan dengan ayah kandung Lana, sungguh menjadikannya gagu. Jadi, sangat wajar bila rasa takutnya menguasai lidah. Hingga berkali-kali, ia kesulitan melafalkan nama panjang Lana. Ditatap sedemikian rupa, tentu saja membuat Reno bergetar parah. Untungnya, ketika kali ketiga mencoba, ia bisa menyelesaikannya.

"Ren! Sah, Ren!"

Siapa lagi bila bukan teman-temannya.

"Gilak, Ren! Akhirnya!"

"Lo nyaris dimandiin kalau salah lagi, Ren! Hebat lo, Ren!"

Ah, untungnya ada mereka yang menyemarakkan suasana.

Bila ia tak meminta teman-temannya hadir, suasana yang mengukungnya pasti terasa benar-benar mencekam.

"Anak Mami ...."

Pelukan pertama, datang dari ibunya. Dibarengi oleh limpahan air mata, Reno merengkuh wanita setengah baya itu dalam dadanya.

"Jangan tinggalin Mami. Nanti gimana Mami kalau kamu nggak ada di rumah, Ren? Siapa yang Mami bangunin kalau pagi? Siapa yang Mami omelin nanti?"

"Papi aja, Mi," Reno berbisik. "Papi aja yang Mami omelin tiap pagi kalau dia ada di rumah, ya? Jewer sekalian, Mi. Tendang kalau perlu."

Cubiran ia rasakan di pinggang, lalu dengan drama ibunya menyudahi isak tangis itu.

Kemudian, Reno mendapatkan rangkulan dari teman-temannya. Menggodanya sambil berbisik-bisik nista.

Dan pelukan ketiga, ia dapat dari kedua saudaranya.

Lalu, di mana ayahnya?

Pergi keluar, tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuknya.

Apakah Reno bersedih?

Tentu saja, iya.

Tetapi, ia telah menasbihkan hati, tuk membenci ayahnya mulai saat ini.

Lalu bagaimana dengan pengantinnya?

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang