Tiga Puluh Satu

34.2K 5.7K 408
                                    

Gengss, yg lupa cerita sebelumnya bisa cek part yg lalu yaaa

Hahaha sori bgt kelamaan ya aku tinggal hahahaa

Aku lgi kedatangan saudara2 aku dri luar kota 2 minggu lalu. Beberapa hri nginep d rumah. Terus ya, pergi jalan sm mereka. Sampai rumah biasanya udah capek bgt.

Nah, krna hri ini mereka udh balik ke kota masing2. Makanya, aku hadir utk kalian wkwkwkk
Janji deh, aku usahain up senormal biasanya yesss

***

Bukan pesimis, terkadang menjadi manusia pun harus realistis. Tidak semua rencana berjalan semestinya. Kadang kala, menerima apa yang digariskan oleh semesta juga tak kalah indah. Walau tak jarang realita membuat menderita. Namun tenang saja, semua nestapa akan terbayar saat bahagia mulai menunjukkan kepak sayap emasnya.

Tunggu saja.

Karena biasanya, tidak ada tangis yang berlangsung selamanya.

Berdoa saja.

Supaya garis takdir, akan berpihak pada kita.

Awalnya, Reno masih tidak paham bagaimana harus meniti tali-temali ini. Pijakan kaki pertamanya, penuh duri. Langkah-langkah selanjutnya pun, tak pelak membuatnya merintih. Tetapi Lana, selalu punya sisi yang tak bisa Reno mengerti.

Dan tiap kali perempuan itu mengeluarkan seluruh emosinya dalam air mata, Reno benar-benar merasa bersalah. Ia hanya bercanda tadi, tetapi reaksi Lana membuatnya termangu lama. Bukan tak berniat menepikan kesedihan itu segera, Reno justru terperangkap sendiri oleh perasaan asing yang tiba-tiba saja bercokol di palung jiwa. Mengenai desir pedih yang tiba-tiba bertahta di sana.

Kenapa?

Entahlah.

Reno menghela, mencoba menenangkan debar ribut yang enggan ia beri nama.

"Lan," tangannya terulur menyentuh lengan Lana. "Gue cuma bercanda tadi," ia ulang kalimatnya tanpa sirat jenaka yang menyertai. "Hei, gue beneran cuma bercanda, Lan."

Seharusnya, ia peluk saja 'kan?

Sudah sepantasnya, bila ia menenangkan perempuan itu.

Tetapi saat ini, ia justru didera rasa segan.

Segan?

Ya, segan.

Sebab, ia baru menyadari bahwa dirinya adalah seberengsek-berengseknya lelaki. Yang memanfaatkan perempuan sebaik Lana. Mengotorinya, juga merenggut sesuatu yang sebenarnya bukan haknya. Menuruti napsu yang tidak seharusnya. Mereguk dosa yang kini benar-benar menggiring mereka menuju neraka.

Neraka kehidupan.

"Lan, udah," ia hanya berani menepuk-nepuk lengan perempuan itu saja. "Gue cuma bercanda. Gue nggak akan jadi TKI. Tenang aja, gue bakalan ngerawat mereka bareng sama elo. Gue bahkan nggak sabar mau jewer mereka nanti," ia coba berkelakar. "Jadi, mana mungkin gue bakal ninggalin mereka. Gue aja mau bikin perhitungan nanti sama mereka. Enak aja, mereka udah ngerjain gue dari dalam kandungan. Ya, gue balas dong nanti."

Serius, Reno memang bergurau tadi.

Hal itu dipicu dari rasa frustrasinya setelah menerima panggilan dari sang ayah.

Pria paruh baya itu memang tidak pernah setengah-setengah dalam membuat anaknya merasa jerah. Setelah resmi tak mendapat uang jajan lagi, Reno menerima fakta baru kalau mobil yang selama ini ia kendarai tak lagi boleh ia gunakan setelah menikah.

Semua akan ditarik darinya.

Ibarat kata, hidupnya dimulai dari nol setelah ini.

Jika ia memang mau tetap kuliah, ayahnya akan tetap membiayainya. Tetapi, hanya biaya pendidikan saja. Untuk biaya kehidupan, orangtuanya angkat tangan. Dan Reno benar-benar merasa putus asa, saat kemudian ia mengecek saldo di rekeningnya. Tak pernah berpikir hidupnya akan sampai pada fase seperti ini, Reno begitu senang membelanjakan uang sakunya. Membeli perintilan untuk motor, mengganti aksesoris mobil. Ya, nongkrong di kafe tanpa peduli pada tagihan-tagihan itu.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang