Empat Puluh Dua

78.3K 5.1K 599
                                    

selamat datang di part terakhir Season Pertama. ayo, mari sama-sama aku pandu kalian mengarungi bagian terakhir dari kisah mereka di Season ini. wkwkwk apaaa bgt deehh yaaa akuu hahaha

yuklah, kakak-kakaknya Reno and Lana sekalian, kita sapa2 dulu adek-adek mahasiswa kita yang udah berumahtangga. mari kita tanya mereka, enakkah menikah ituuu??? wkwkwkk

Happy reading bebi-bebiku sekaliaaannn 

Sementara Wilona tampak terguncang dengan penuturan barusan. Raja justru tergelak tiba-tiba. Bahkan, tanpa menutupi tawanya, ia mengamit lengan Wilona. Mengajak supaya sepupunya itu ikut bangkit bersamanya. "Wah, lo datang ke orang yang tepat, Ren," katanya dengan seringai geli di wajah. "Non, kita ketemu cewek gue aja, yok? Di sini bukan tempat buat anak-anak muda," tambahnya ambigu.

Wilona tentu saja menolak. Ia masih terlampau kaget mendengar penuturan kakak tingkatnya tersebut. "Bang Reno bohong 'kan?" ia tidak percaya. "Arin nggak ada gomong apa-apa ke gue. Abang ngarang cerita itu biar diterima kerja 'kan? Astaga, Bang. Bang Bara nggak akan setega itu buat nggak terima Abang kerja di sini cuma perkara Abang pake Hublot dan masih kuliah."

"Gue serius, Non," kini Reno merasa bersalah pada gadis itu. Ia sematkan senyum yang sarat akan permintaan maaf. "Sori banget karena gue nggak bilang yang sejujurnya sama elo. Maafin gue, Non. Tapi, gue bener-bener udah nikah."

Kembali tercengang. Wilona kehabisan kata-kata. Ia menelan ludah seraya menggeleng pelan. Menatap Bang Reno tanpa berkedip, ia terlihat shock luar biasa.

"Makanya, yok, kita ketemu cewek gue aja," Raja menahan diri agar tak menertawakan ekspresi kaget Wilona. "Ren, keputusan lo buat kerja di sini emang tepat. Dahlah, lo resmi diterima kok," kekehnya kecil. "Dan yang ada di depan lo sekarang ini, bukan sekadar bos lo doang, Ren. Tapi senior lo dalam urusan hidup," menyematkan senyum geli pada kakaknya, Raja menaik turunkan alis sengaja. "Mas, lo bimbing deh calon karyawan lo ini dengan benar, Mas. Lo kasih tips and trick gimana ngejalani ruwetnya kehamilan yang nggak disengaja."

"Sialan lo!" maki Bara seraya berdecak. "Udah sana lo pergi! Bawa Wilona sekalian!"

Terbahak-bahak, Raja menyeret Wilona bersamanya. "Lo denger 'kan, Non? Udah, yok, temenin gue ngapelin cewek gue aja."

"Tapi, Bang ...."

"Udahlah, ayok! Percakapan mereka mengandung kesuraman masa kini, yang nggak bakal nyampe ke otak lo," Raja tak bisa menghentikan tawanya. "Ren, selamat bergabung di ninetyfour, ya? Bos lo memang Bara. Tapi nanti, gue yang bakal jadi ahli warisnya."

"Banyak amat omong lo, Ja! Sana pergi lo!" usir Bara sambil memelototi adiknya. Dan setelah adiknya benar-benar pergi, barulah Bara menghela napas. Ia menyesap birnya sedikit, sebelum meringis tipis. "Jadi, lo udah nikah?" tanyanya tak enak.

Reno mengangguk, ia mengusap tengkuk demi meminimalisir kegugupan. "Iya, Bang," bibirnya menipis sungkan. "Gue butuh banget kerjaan ini, Bang," ia buang semua gengsinya demi kebutuhan hidup yang tak murah. "Masing-masing orangtua kita, udah lepas tangan, Bang. Mereka semua beneran nggak mau tahu lagi tentang gue sama istri. Makanya, gue harus kerja, Bang."

Ekspresi wajah Bara tak terbaca. Mendadak, ia tak bisa berkata-kata. Seraya menyugar rambut, ia hela napas panjang. "Kandungan istri lo baik-baik aja 'kan?" ketika Reno mengangguk, Bara merasa sedikit lega. "Umur lo berapa, Ren?"

"20, Bang."

"Istri lo?"

"Sama, Bang."

Bara menggaruk alisnya. Demi Tuhan, ia sangat familiar dengan situasi seperti ini. Hanya saja, ia tidak pernah pusing memikirkan kebutuhan ekonomi. Bahkan sejak kuliah, ia selalu bisa mengandalkan uang yang tersimpan di rekeningnya. "Lo masih muda banget, Ren," desahnya prihatin. "Lo gue terima kerja di sini."

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang