Tiga Puluh Sembilan

38K 6.1K 502
                                    

Reno kesayanganku hadirottt. membawa kenajisan lain yang sulit untuk dilewatkan hahahaaa

ya gitu, yuklah happy reading. semoga happy ending yes saudara-saudaraa ...


Bayi lahir tak lantas menjadi hebat. Mereka harus berjuang nyaris di setiap saat. Memijak langkah dengan bahu tegap. Mengarungi realita dengan sisi tergelap. Supaya kelak, jagad raya tak membuatnya sekarat, ketika dunia yang penuh fatamorgana ini kiamat.

Semesta tahu, cinta adalah bahasa rindu yang utuh. Di mana segala rasa berkumpul menjadi satu. Tentang titik beku, di antara semu yang tak boleh menjauh. Mengenai rintik pilu yang ditunggu walau jelas-jelas melukai kalbu.

Hati itu tetaplah hati, walau pelita yang ia jaga di jiwa telah mengecewakannya dengan isak yang tak boleh orang tahu. Mengurungnya dengan hampa. Mengepungnya dengan jutaan rasa bersalah.

"Bunda cari-cari, ternyata Ayah di sini?"

Pada waktu yang sudah berlari menuju tengah malam, Aulia terbangun dan tak menemukan suaminya di sebelah. Ibu kandung Lana itu lantas berfirasat. Dan lagi-lagi, perkiraannya tepat.

Dengan senyum senduh, ia tatap wajah murung suaminya. Tahu betul, kegelisahan apa yang bersemayam di benak pria itu. "Ayah mau tidur di kamar Lana?"

Ayah tiga orang anak itu lantas menggeleng. "Padahal, kita udah terbiasa ditinggal anak-anak ngekos, ya, Bun? Lana juga ngekos dua tahun ini. Tapi kenapa, kali ini rasanya beda," ungkapnya sambil menerawang. "Tiap balik ke kos, dia juga selalu nangis 'kan, Bun? Tapi kenapa, pamitannya yang terakhir kali, nggak bisa Ayah lupain."

"Karena kali ini, bukan Ayah yang nganter dia balik ke kosan," Aulia masih berusaha mempertahankan senyumnya. Namun rasanya sulit, ketika nyatanya ia merindukan salah seorang belahan jiwanya. "Karena kali ini, dia pamitan bukan buat belajar. Dia udah bukan sekadar anaknya, Ayah. Sekarang, dia udah jadi istrinya orang."

"Bunda bener," pria setengah baya itu mengangguk muram. Bahunya yang sewaktu muda tegap, kini mulai membungkuk termakan usia. Ia terlalu kaku untuk mengatakan betapa rindunya ia pada sang putri. Tetapi, hatinya tetaplah hati. Yang perih kala rasa itu mematri keras di sanubari.

Sedang apa anaknya saat ini?

Sudah tertidurkah buah hatinya itu?

Memilih mengelus dada, ia menatap segala ayah. Mencoba mengenang, jejak-jejak putrinya yang tertinggal di kamar ini.

"Ayah baru inget kalau Lana belum pernah ganti tempat tidur dari SMP, ya, Bun?" meraba seprainya yang bersih, Lukman menelan ludah kala kenangan-kenangan masa kecil anak-anaknya menyambangi jiwa. "Kita belikan dia waktu pertama kali pindah ke sini. Dan semua yang ada di kamarnya belum ada yang berubah."

Aulia yang tadi berdiri di pintu, ikut bergabung dengan sang suami yang telah duduk di tepi ranjang putri bungsu mereka. Setiap hari, ia memasuki kamar ini untuk sekadar membuka jendela dan menyapu lantainya. Namun entah kenapa, kali ini terasa berbeda. Ingatan-ingatan mengenai anaknya itu terpatri kuat dalam benak.

Bayangan Lana kecil yang teramat girang ketika mereka pindah ke rumah ini, menjadi bagian yang sulit ditepis. Apalagi, ketika pandangannya jatuh pada meja belajar sang putri. Tiba-tiba saja, ia menyentuh dadanya yang terasa nyeri.

"Bunda kangen Lana, Yah," bisiknya pada sang suami. "Kangen banget," imbuhnya dengan mata berkaca-kaca. "Lana lagi apa, ya, sekarang, Yah? Dia udah tidur apa belum?" ia tak dapat berpura-pura lagi. "Dia baik-baik aja 'kan, Yah?"

Lukman menarik lembut tangan sang istri. Membuat wanita itu duduk di sisinya. "Maafin Ayah, Bun. Maafin Ayah, udah buat Bunda sama Lana hidup terpisah."

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang