Tiga Puluh Dua

35.2K 5.4K 324
                                    

Duh, kalian gk sabar banget yaa. Pdahal ini masih kamis lhooo

Yaudah deh, happy reading yaa

Pijar raksasa di langit masih memancarkan panas tiada habis. Angkuh untuk dikenang sebagai penguasa siang yang tiada banding. Sering kali, berperan sebagai pihak yang tak punya hati. Walau tak jarang, kehadirannya ditunggu selayaknya dewi. Bercokol tanpa peduli bahwa tak semua tempat membutuhkan panas yang serupa, matahari selalu menyuruh angin mengipasi terik yang tiada berguna. Lalu marah, ketika petang datang menghadang.

Kemudian untuk mengukir kesombongan, matahari memanggil kuas-kuas keemasan. Meminta jingga mendandaninya seelok yang mereka bisa. Ia harus terbenam dengan megah. Seluruh mata, wajib mengaguminya kalau bisa. Supaya ia kekal dikenang. Agar rembulan tak dipandang rupawan. Esoknya, ia 'kan kembali menjadi primadona.

Ah, andai semua orang memiliki sikap sepercaya diri itu.

Nyatanya, Lana sama sekali tidak mempunyai setitik sikap matahari di dalam dirinya.

"Lo yakin nggak perlu gue anterin sampai dalam?"

Lana menggeleng. Sebelah tangannya menggenggam pagar besi setinggi dada orang dewasa. Ia hanya perlu menggeser pagar tersebut ke samping, melihat bagaimana pagar itu tak terkunci, ia tahu ibunya berada di dalam rumah.

"Lan?" Reno mulai tak sabar karena sedari tadi yang Lana tunjukan padanya hanya gelengan dan anggukan. "Gue juga perlu caper kali, Lan, sama nyokap lo," ia kemukakan alasan dengan asal. "Atau basa-basi kek elo. Nawarin gue minum. Capek tahu, Lan, nyetir dua jam."

Sejujurnya, Reno ingin tahu bagaimana respon orangtua Lana atas kehadiran mereka. Bila nanti Lana diusir, ia bisa membawa pergi sekalian.

"Lo balik aja, Ren. Makasih, udah nganterin gue pulang," gumam Lana pelan. Ia melirik pada koper dan dua tas besar yang berada di sebelahnya. Seluruh pakaiannya yang berada di kost berada di situ. Membawa semua pulang ke rumah ini, tempat di mana seluruh barang-barang itu bermula. "Ren?" ia menoleh pada laki-laki itu. "Kita bener-bener udah ada tempat tinggal 'kan, Ren?"

"Hm," Reno bergumam mengiakan. "Buat sebulan dua bulan, ada. Nanti, setelah kerjaan gue fix dan gue tahu berapa gaji sebulan di sana. Kita cari kontrakan."

Ini menyedihkan.

Lana mengakui itu.

Namun, ia tak bisa menuntut lebih. Ia tahu betul, bagaimana beratnya beban Reno saat ini. Tak hanya akan menafkahi dirinya sendiri, Reno pun berkewajiban membiayai seluruh hidup mereka setelah ini. Membayangkannya membuat Lana merintih. "Gu—gue nggak punya tabungan, Ren," ia katakan hal itu dengan jujur.

Karena uang lebih yang ia sisihkan selama ini, telah habis ia belanjakan pakaian-pakaian baru untuk menutupi kehamilannya di kampus. Lagipula, uang sakunya tidak banyak. Ia bisa menabung saat kedua saudaranya memberinya uang sebagai tambahan. Sudah sangat bersyukur dapat dikuliahkan, Lana tak berani meminta lebih.

"Maaf, Ren, gue nggak bisa bantu buat bayar uang kontrakan."

"Santai, gue ada kok," sahut Reno dengan senyum kecil. "Biaya hidup kita, aman."

Bohong.

Lana tahu betul, Reno berbohong. Sambil menggigit bibir, Lana memutuskan tatapan mata mereka. Sedang tak memiliki waktu untuk mendebat, Lana memilih percaya. "Mahar gue cukup yang kemarin gue bilang aja, ya, Ren? Jangan ditambahin. Cukup segitu. Lagipula, uang maharnya cuma mau gue jadiin pegangan aja, Ren. Siapa tahu, bisa bantu elo buat beli token listrik di kontrakan kita nanti."

Lana hanya meminta mahar uang tunai sebesar satu juta rupiah. Dan sejak awal, ia sudah berpikir untuk menyimpan uang itu. Supaya sewaktu-waktu, ketika mereka butuh tambahan, mereka bisa menggunakannya tanpa perlu repot-repot meminjam kepada orang lain.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang