Tiga Puluh Tujuh

50.4K 5.8K 708
                                    


Iihhh akuu deg2an hahahaa

Tadi barusan baca komen di part sebelumnya. Dia ngingetin kalo ini malam jumat. Walau teteh yg polos ini gk mengerti maksudnya, jadii yaudahlah, aku UP aja cerita ini di malam jumat wakakakaka

Yuklah, taruhan lagi, bakal aku skip atau ulala nyam2 nih???

Happy reading beb

Namun entah sial, atau justru sesuatu yang mujur.

Lana tidak menampar Reno.

Perempuan itu juga tidak berteriak karena ciumannya.

Sesaat setelah pintu kamar tertutup, Lana yang awalnya linglung, pelan-pelan membalas ciuman yang Reno sarangkan. Mulanya, masih terbata-bata. Tetapi ternyata, Reno berhasil membuai kenyamanannya. Hingga Lana pun memasrahkan diri. Terhanyut dalam gerak intim yang diciptakan laki-laki itu, ia membalas dengan berani.

Menghadirkan bunyi lirih lumatan yang melagu nikmat. Kecipak dari bibir yang beradu kuat, sontak membangunkan hasrat. Menyelimuti ragu dengan rasa yang menginginkan utuh.

Ketika akhirnya pasokan udara di sekitar mereka mulai menipis, dengan berat, Reno melepaskan bibir mereka yang bertaut erat. Mencipta benang saliva yang mengikat. Kemudian, mata yang sebelumnya terpejam, mulai saling tatap.

Ada semu yang tampak jelas di sana.

Ada rasa yang tak mampu mereka ungkap sama-sama.

Debar ribut di dada, mulai terdengar begitu memekakan telinga.

Tak ada yang bergerak. Seolah takut, bahwa peluk erat yang saat ini tengah mereka berdua lakukan, akan retak. Jadi, Lana tetap membiarkan kedua lengannya bergelantung di leher Reno. Sebagaimana Reno pun, tak melepas kedua tangannya yang melingkari pinggang Lana.

"Lo nggak apa-apa?" Reno berbisik pelan. Matanya mulai menjelajah seluruh wajah Lana yang terlihat merona di bawah tatapannya. "Nggak ada yang luka?" ia bawa Lana tuk bersandar di dinding sebelah pintu kamar. "Perutnya nggak sakit?"

Pertanyaan bertubi-tubi itu hanya mampu dijawab Lana dengan gelengan. Ia menunduk karena malu. Menyembunyikan wajahnya yang bersemu. "Gue nggak apa-apa."

Reno mengangguk paham. Harusnya, ia lepaskan saja Lana dan mulai melangkah mundur. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia merapatkan tubuh mereka. Walau terhalang oleh perut Lana yang sudah membuncit, namun Reno punya cara tersendiri untuk mempertahankan posisi ini. Ia tak ingin meninggalkan pinggang Lana, maka ia pilih mempertahankan satu tangannya di sana. Sementara yang sebelah lagi, ia gunakan tuk mengelus pipi perempuan itu.

Merasakan kulit Lana yang halus, lewat punggung tangannya. "Apa lo ngerasa takut sama gue, Lan?" tanyanya berbisik. Hidungnya mengendus puncak kepala Lana, membuat matanya memejam saat aroma manis menguar memanjakan indera. Jakunnya bergerak naik dan turun, aroma Lana membuatnya ingin mencumbu perempuan itu. "Lo jijik sama gue, Lan?" gelengan kepala Lana membuat helai-helai rambut perempuan itu menyentuh pipinya. Ada gelenjar aneh yang mendesak, Reno merasa semakin sesak. "Lo lembut banget, Lan."

Reno menurunkan jemari-jemarinya. Leher Lana yang jenjang, menjadi sasaran penyusurannya kali ini. Ia ulang sapuan jarinya, berkali-kali. Ia jatuhkan ujung hidungnya, tuk membaui aroma manis yang juga terasa di sana. Hingga ketika Reno tanpa sadar menjulurkan lidah, tahu-tahu saja ia sudah menjilat bagian belakang telinga Lana. Melabuhkan kecupan mesra. Mengembuskan hawa menyiksa di tempat yang basah.

Demi Tuhan, Lana terasa nikmat untuknya.

Reno ingin lebih.

Ia ingin mereka saling melucuti.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang