Dua Puluh Sembilan

36.7K 5.7K 637
                                    


Nggak lama kan yaaa hahahaa

Yaudah yuk, kita baca lagi kali ini tingkah Reno ngapain aja wkwkwkk
Happy reading

Banyak yang lebih memilih memalsukan senyuman, dibanding menjelaskan alasan mengapa jiwa terperangkap kesedihan. Ada masa di mana seharusnya sadar, saat yang dikejar telah menghindar. Bukan karena tak percaya diri, melainkan tahu diri.

Dunia tidak serta merta berselimut duka, kala patah hati membuat banyak manusia putus asa. Sebab, atensi semesta bukan hanya berfokus pada kau dan dia. Manusia tak terhitung jumlahnya, dan air mata menjadi hal lumrah untuk tiap-tiap proses menjadi dewasa.

"Ini yang namanya Lana, Mbak," Reno berdeham setelah mengenalkan Lana pada kakaknya. Ia masukan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Bergaya cool, padahal jantungnya cukup dag-dig-dug sedari tadi. Well, sudah terlanjur melihat Lana, jadi sekalian saja ia kenalkan pada kakaknya. "Ehm, Lan, kenalin Mbak gue," gumamnya sok tak peduli.

Masih berada di gedung bioskop, namun mereka sudah membatalkan niat untuk menonton film. Lana yang ia paksa mengikutinya, meninggalkan tatap penuh tanya di wajah teman-teman perempuan itu.

Ya, mau bagaimana lagi?

Sudah tiga hari mereka tak bertemu. Reno membutuhkan waktu untuk mencecar Lana setelah ini.

"Lana?" Raisa menampilkan wajah yang serius saat berpikir. "Lana yang ...."

"Hm," Reno mengangguk. "Mau ngobrol atau gimana nih?" tanyanya sedikit salah tingkah. Ia memandang Lana sebentar, lalu mencoba mengalihkan tatapan ke mana saja asal tidak pada perempuan itu lagi. "Kalau mau ngobrol, sambil makan aja. Lana rewel kalau makan telat. Pasti muntah-muntah."

Sementara Lana masih menunduk kikuk, Raisa mulai meneliti sosok perempuan yang baru saja dikenalkan oleh adiknya. Satu-satunya perempuan, kalau Raisa boleh mengoreksi. Karena sejak dulu, Reno tidak pernah mengenalkan siapa-siapa pada mereka dengan sebutan pacar. Sebab sejak remaja, dunia Reno hanya Arin.

Ya, hanya Arin.

Sampai mereka kemudian mulai percaya, bahwa jodoh Reno bisa saja memang Arin. Tetapi rupanya, semesta menggariskan takdir lain.

Ternyata, bukan Arin orangnya.

Bernama Lana, Raisa belum tahu nama lengkapnya. Yang kini berdiri dihadapannya, bukan sekadar pacar untuk adiknya. Melainkan calon istri. Sosok perempuan yang juga tengah mengandung calon keponakannya. Raisa tidak sadar ketika tatapannya jatuh ke arah perut Lana.

Jadi, inilah calon adik iparnya?

Well, kabar pernikahan Reno yang akan digelar dalam waktu dekat ini, sudah disampaikan ayah mereka. Hanya berupa akad, tanpa perayaan apa-apa. Dan acara itu pun cuma diketahui oleh keluarga inti saja. Sebab, keluarga besar baik dari pihak ayah maupun sang ibu tidak akan diberi tahu.

"Oh, jadi ini Lana," ia bergumam seraya membentuk senyuman. Perempuan di depannya ini, tampak pucat dan lesu. Menilik gayanya berpakaian, Raisa langsung paham, bahwa kemeja longgar yang dikenakan semata-mata untuk menutupi kehamilan. Ia segera merasa iba. Inginnya menghajar adiknya. Tetapi Reno sendiri pun sudah kesulitan menghadapi keadaan seperti ini. "Reno jahat, ya, sama kamu?" tanyanya ramah.

"Eh?" Lana terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu.

"Kamu udah pernah nggak coba mukul dia? Pukul aja mukanya yang sok ganteng itu."

"Lo apaan sih, Mbak," Reno menggerutu.

Lana mengangkat wajahnya ragu. Ia menggigit bibirnya, karena tak percaya diri. Bertemu dengan salah seorang anggota keluarga Reno, belum pernah ia khayalkan. Jadi, sangat wajar bila saat ini, ia merasa kian kikuk.

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang