Empat Puluh

39.3K 6K 652
                                    


Yuhuuuu sorrii yaaa baru up hahahaa 

part ini baru selesai. aku tuh lupaa nyelesaikan part ini, malah udah bikin part2 depannya. Entah kenapa, aku sekarang tuh gitu. wkwkwkk 

part kemarin ketemu ortunya Lana yes. nah, part ini ketemu sama bokapnya Reno, yes...


*** 


Tidak segala yang berdebar di dada layak membuat kita salah tingkah. Ada kalanya, semua hanya rasa sesaat yang kerap membuat tersesat. Sama seperti, berhentilah menjadikan orang bahagia sementara baginya dirimu hanya sampah.

Duri yang menempel di kaki itu perih. Namun, melihat anak sendiri hidup susah, hati orangtua terasa mati.

Kemarahan yang terluap hanya bentuk dari ketidaksempurnaan para orangtua sebagai manusia. Mereka tak akan membenarkan diri sebagai ahli surga. Sebab mereka paham, kekecewaan yang bertalu di dada merupakan bagian dari harap semoga yang terlanjur mereka gantungkan pada tiap-tiap buah hati.

Dan Januar merasakan hal itu.

Lidahnya boleh saja telah menebas amarah pada sang putra. Pendar netranya pun, tak ketinggalan menghunuskan emosi yang berhasil diri. Tetapi hatinya tahu, ia hancur layaknya kepingan.

"Om serius?"

Pandangannya yang tadi menerawang, kini berhasil diselamatkan oleh suara dari teman-teman putranya. "Om minta tolong sama kalian."

Marvel meringis. Ia garuk kepala sambil menatap kedua temannya bergantian. "Gimana nih?" gumamnya untuk Sean dan juga Kenzo. "Ambil nggak?"

Saat Sean hanya mengedikkan bahu, Kenzo yang akhirnya maju dan meraih kunci motor yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh ayah kandung Reno. "Kenapa, ya, Om, ada orangtua yang sulit banget ngungkapin perasaan sayangnya ke anak sendiri?" sindirnya sambil menghela.

Januar tahu betul sindiran itu untuknya. Enggan menanggapi, Januar hanya menatap teman anaknya itu lamat-lamat. "Jangan bilang kalau motor itu dari saya," katanya sekali lagi. Sebab sebelumnya, ia sudah menjelaskan maksud dari alasan mengapa ia menghubungi teman-teman anaknya. "Bilang aja, motor itu dari kalian. Itu motor second, milik salah seorang pegawai saya yang dipakai selama tiga bulan. Saya membelinya kemarin untuk Reno."

"Harusnya, Om aja yang ngasih. Ngapain coba repot-repot nyuruh kita bohong," Sean menimpali.

"Kalau dia tahu motor itu dari saya, dia pasti nggak mau terima. Sementara saat ini, dia nggak punya kendaraan untuk ke mana-mana 'kan? Makanya, saya beli motor itu untuk dia."

"Kenapa nggak yang baru aja sih, Om?" tanya Marvel polos.

"Bego!" Kenzo menoyor kepala Marvel sambil tertawa. "Kan, pura-puranya ini dari kita. Ya, kali, anak kuliahan yang jajannya masih dijatah mingguan kayak kita, patungan beliin dia motor baru. Yang ada, Reno pasti curiga."

"Bener juga," kekeh Marvel mengangguk paham. "Eh, tapi, motornya second juga baru tiga bulan dipakai. Masih kelihatan baru keles," imbuhnya segera. "Ngomong-ngomong, nih motor apa sih, Om? Bukannya motor Reno juga ada, ya, di rumah?"

"Ini motor matic," Januar menjelaskan dengan sabar. Ia memang belum memperlihatkan motor tersebut pada ketiga teman anaknya. Ia baru memberikan kuncinya saja. "Motornya ada di parkiran bawah. Nanti, kita ke sana untuk lihat kondisi motornya." Well, Januar memang mengundang teman-teman Reno bertemu di kantornya. "Pertimbangan lainnya kenapa saya pilih motor matic, karena istri Reno sedang hamil. Motor sport seperti punya Reno di rumah, nggak mungkin nyaman untuk dikendarai."

Dream PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang