Pertanyaan [39]

323 56 7
                                    

So Far Away
Happy Reading

.

.

.

.

.

"Abis darimana lo? Kenapa bolos?"

Yoongi menatap sengit Jin yang baru saja muncul di balik pintu.

"Aku habis dari pantai. Aku lagi nggak mood sekolah," kata Jin. Jujur, sebenarnya ia sedang dalam kondisi hati yang tak baik-baik saja. Sedari tadi merenung di pantai dan juga memikirkan bagaimana nanti ia kedepannya membuat Jin kehilangan semangatnya. Bahkan raut wajahnya saja datar. Sangat bukan Jin sekali.

Yoongi sendiri mengepalkan tangannya mendengar jawaban Jin yang seenaknya itu. Ia tak suka. Ia tak suka jika anak itu tak dalam pengawasannya. Apalagi anak itu juga secara tak langsung membuat Yoongi tak tenang sejak tadi.

Yoongi khawatir. Ia takut terjadi sesuatu.

"Lo enak banget main bolos aja. Bokap bayar duit sekolah lo dengan hasil keringetnya, dan lo? Lo nggak tau diri banget jadi anak! Pantes aja mama jadi lupain lo dan bokap lo juga pergi. Mereka nggak tahan tau sama lo!" Hardik Yoongi.

Sebetulnya ia keterlaluan. Tapi Yoongi tak tahu bagaimana cara bersikap pada anak itu selain marah.

Bayangkan saja, seharian ia berkeliling sekolah dan juga menanyakan Jin pada teman-temannya. Tapi yang dicari malah seenaknya pergi ke pantai. Bahkan tanpa memberitahu siapapun seperti tadi.

"Kakak marah?"

"Lo tanya gue marah apa enggak?!" bentak Yoongi.

"Gue keliling sekolah buat nyariin lo karena nyokap sama bokap nyuruh kita buat balik bareng dan ngasih barang ke rumah tetangga. Tapi apa?! Lo bahkan nggak ada dimana pun dan sekarang lo enteng jawab kalo lo abis dari pantai gara-gara nggak mood sekolah?"

"Dimana otak lo hah?!"

Yoongi terengah-engah. Marah barusan adalah karena tadi ia dilanda khawatir pada bocah itu. Rasanya ingin mengubrak-abrik seluruh sekolah saja saat tahu bahwa anak itu tak ada.

Ia tak berdusta, ia benar-benar merasa takut terjadi sesuatu pada Jin. Terlebih itu saat Jin ada di jangkauannya.

Ini bukan peduli, hanya saja Yoongi tak mau disalahkan. Ia membantah jika ia dituduh peduli.

Sementara itu, Jin yang sedari tadi dia sambil menunduk kini mengangkat wajahnya. Ia menatap Yoongi dalam seolah ingin mengunci Yoongi dalam tatapannya.

"Pantai adalah tempat kesukaan aku sama mama dan papa. Aku cuma pengen mengenang kenangan kami sebelum aku nggak bisa mengenang apapun lagi," ucap Jin. Yoongi menyerengit.

Apa katanya?

"Maksud lo apa sih? Jangan drama deh lo. Bolos ya bolos aja, jangan banyak ngeles!"

"Aku nggak ngeles kak. Aku bener-bener cuma mengenang masa indah aku disana aja. Soalnya mungkin nanti kakak bakalan jadi anak satu-satunya buat mama, jadi aku nggak bakalan punya waktu buat sama mama selain dalam kenangan itu aja.."

"Aku mungkin nggak akan punya tempat lagi.." lirihnya.

Entah kenapa suasana yang tadinya tegang kini malah menjadi biru. Tanpa Yoongi sadari, melihat Jin dengan tatapan dan raut wajah seperti saat ini membuat hatinya menghangat. Ia merasa jika apapun yang dialami Jin saat ini tak lain adalah karena keegoisan dan keserakahannya. Yoongi sama sekali tak menampik jika dirinya bersalah. Tapi itu dalam hati, karena pada kenyataannya Yoongi tetaplah Yoongi. Dia adalah orang yang selalu ingin menang dan juga ingin disayang.

"Lo emang bakalan gue tendang dari poros hidup mama! Lo emang bakalan gue lenyapin selamanya. Lo bakalan gue beresin. Dan sampai saat itu tiba, gue harap lo siap-siap aja, karena sekali lo keluar dari arena permainan, lo nggak akan pernah bisa balik. Walaupun lo nangis darah sekalipun!" Yoongi berucap tegas. Namun tak ada reaksi berarti dari Jin, anak itu hanya tetap pada tatapan itu dan juga ekspresi tak terbaca itu.

"Kak.. apa nggak ada kesempatan aku buat jadi adik kakak? Apa se-benci itu kakak sama aku?"

Pertanyaan itu, Yoongi pun tak tahu jawabannya.

Mungkin sesekali memang ia ingin merengkuh Jin, apalagi ketika anak itu habis ia buat menderita. Tapi, entah rasa bencinya yang terlalu besar atau nafsu yang lebih banyak menguasai, Yoongi tak bisa melepaskan rasa benci itu.

Selalu saja. Selalu saja hatinya panas ketika ada kasih lain yang menguar selain padanya. Yoongi tak suka dinomor duakan. Dan ia tak suka bahwa penyebab semua itu adalah seorang anak tiri yang kata orang-orang sangat kejam dan suka memanipulasi.

"Sekuat apapun lo mau masuk, lo nggak akan pernah bisa masuk. Lo nggak lain cuma gunung kebencian di hidup gue! Fakta bahwa lo adalah saudara tiri bikin gue nggak bisa buka hati. Jadi, jangan pernah ngimpi buat jadi adek gue! Sampai kapan pun itu, lo adalah saudara tiri. Dan Lo.." Yoongi menunjuk Jin tepat di dahinya.

"Lo nggak akan pernah jadi apapun di hidup gue. Nggak akan pernah!"

Jin agak terperajat saat mendengar nada tinggi Yoongi. Tapi, tentang ucapan menyakitkan itu ia sudah tahu pasti. Bukankah memang itu yang akan orang-orang rasakan? Lagian siapa yang akan suka dengan perusak keluarga?

Yoongi benar dengan tindakannya.

"Gitu ya kak.."

"Aku lega denger jawaban kakak. Dan oh ya, kakak mulai sekarang juga jangan terlalu mikirin gimana cara lenyapin aku, karena tanpa dilenyapkan cepat atau lambat aku bakalan lenyap kok. Aku nggak akan ganggu kakak dan mama juga akan jadi seutuhnya milik kakak." Jin memberikan senyum terpaksanya.

Yoongi terdiam. Itu adalah senyuman yang agak er–mengerikan. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat Yoongi bungkam. Kata-kata Jin barusan agak terdengar aneh, seolah-olah anak itu akan pergi jauh saja. Dia benar berkata seakan-akan itu adalah kata-kata terakhirnya.

Semua itu sangat membuat Yoongi bingung. Hanya saja yang paling penting semuanya adalah alasan Jin mengatakan kata-kata itu.

Mau kemana dia?

Mau apa?

Dan apa yang akan ia lakukan?

Semua itu bergabung menjadi satu dalam otak Yoongi.

Ia bingung. Ia tak mengerti apapun disini.

'Dia kenapa? Kenapa seakan-akan dia mau pergi jauh gitu?'

'Kalaupun pergi, kemana dia pergi ya?'

Huft

Rumit.

.

.

.

.

.

To be Continue
See you

So Far Away [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang