/// 7 ///

874 182 6
                                    

Kesah Yang Berujung Lelah
-


~°•°~



"Kenapa bisa kayak gini sih Ren?" Yang ditanya hanya diam, menyandarkan kepalanya di bahu Jendarkala saat remaja itu mempersilakan. Bahkan saat ini, Rencaka baru tau jika Nakarsa bisa secerewet ini saat di landa rasa khawatir. Terbukti dari rentetan kalimat yang sedari tadi terlontar, yang tanpa sahabatnya itu sadari semakin membuat kepalanya sakit. Luar biasa.

"Lo bisa diem bentaran nggak sih Na? Kepala gue makin pusing nih." Rencaka berujar lirih, masih dengan mata yang tertutup rapat. Membuat Nakarsa langsung menghentikan kegiatannya mengobati luka di telapak tangan Rencaka, lalu mengambil sebungkus roti dan memberikannya kepada sahabatnya itu. "Cepetan di makan rotinya. Biar bisa minum oba."

"Nih Jen, bawain bentar air sama obatnya." Dengan tangan yang kembali mengulurkan sebotol air mineral juga obat kearah Jendarkala.

Anehnya, kedua remaja yang biasanya terlihat lebih mendominasi dengan sikap otoriter nya itu hanya bisa diam. Mengikuti semua ucapan Nakarsa yang entah di sadari atau tidak, terdengar mutlak dan tak ingin di bantah.

"Kalo sakit kenapa malah dateng ke sekolah?" Jendarkala menyeletuk, menyerahkan botol minuman yang sudah ia buka kepada Rencaka.

"Pengen ketemu kalian. Dua hari di kurung di ruangan sama tumpukan berkas-berkas tuh bikin muak." Rencaka membalas acuh, sepertinya belum menyadari apa yang baru saja ia katakan. Membuat dua orang lainnya saling berpandangan, tak paham maksud di balik serentetan kalimat itu.

"Dikurung?"

Mendengar satu kata dengan sebuah tanda tanya yang dilontarkan Nakarsa langsung membuat Rencaka membuka matanya kembali. Sebelum mengernyit kuat setelah serangan cahaya yang tiba-tiba mengenai retinanya. "Yaa, jujur aja nggak akan kayak gitu sih kalo gue mau nurut." Lalu tersenyum kecut. "Tapi gue nggak bisa, gue nggak suka belajar bisnis seperti yang ayah mau. Gue lebih suka hidup layaknya remaja lainnya yang bisa main dan ngelakuin semuanya tanpa beban. Udah cukup selama tujuh belas tahun ini gue hidup tapi selayaknya burung dalam sangkar, nggak bisa bergerak bebas dan ngeliat betapa indahnya dunia luar. Gue capek."

Yaa, Rencaka tak berbohong saat mengatakan ia begitu lelah dengan kekangan sang ayah. Bahkan luka di tangannya adalah satu dari sekian banyak bukti seberapa inginnya remaja itu terbebas dari semuanya.

Hal itu juga dipertegas dengan keluhan yang terdengar lancar keluar dari belahan bibirnya, seolah memang itu yang ia perlukan untuk sedikit menghempaskan beban di kedua bahunya. Karena jika remaja itu sedang dalam kondisi baik-baik saja, hal itu seolah sangat mustahil untuk terjadi. Karena Rencaka bukan tipe orang yang bisa dengan mudah terbuka pada setiap orang, bahkan orang-orang terdekatnya sekalipun harus berusaha begitu ekstra untuk bisa mendapatkan kepercayaannya.




∆•∆•∆•∆




Jam besar di dinding sebuah cafe sederhana yang sore itu di datangi Rencaka dan dua orang sahabatnya sudah menunjukkan pukul empat lebih dua belas menit. Ketiganya memutuskan untuk mencari makan setelah seharian penuh berada di rooftop sekolah, tentu saja karena Rencaka yang memaksa kedua sahabatnya itu untuk bolos pelajaran, yang malah berakhir ketiduran hingga bel pulang berbunyi.

Ketiganya memilih meja paling pojok, dengan sebuah kaca besar yang menunjukkan pemandangan luar cafe. Juga beberapa pesanan yang sudah tersusun rapi di atas meja.

"Na, kok diem aja? Lo nggak suka makanannya? Atau lo mau pesen yang lain?"

Pergerakan Rencaka yang sudah akan memanggil seorang pelayan terhenti sebab Nakarsa yang dengan cepat menyela. "Enggak, bukan itu."

"Ya terus?" Jendarkala bertanya, ikut masuk dalam obrolan keduanya.

Yang di tanya sejenak menggigit bibir bawahnya, sebelum menjawab dengan cicitan lirih. "Uang gue nggak cukup buat bayar makanannya."

Hening, tak ada respon dari dua orang lainnya. Hanya sebuah gerakan bola mata yang akhirnya bertemu tatap. Seolah tengah berkomunikasi secara diam-diam melalui itu.

"Jadi, alasan lo dari tadi diem aja karena masalah harga?"

Nakarsa langsung bergerak mendekat, mencondongkan tubuh bagian atasnya sebelum berbisik pelan. "Jangan keras-keras ngomongnya, gue malu. Lagian gue juga nggak mau kalo sampe di usir gara-gara nggak bisa bayar makanan."

Rencaka terkekeh innocent, merasa takjub dengan sifat Nakarsa satu ini. Karena demi apapun, ia tak menyangka jika Nakarsa bisa sampai melakukan hal ini. Bahkan mungkin sekarang Jendarkala juga merasakan hal yang sama? Entahlah.

Tapi bukannya mentertawakan atau malah mengucilkan, keduanya lebih memilih memahami. Sebab ketiganya yang memang sudah mengetahui sedikit tentang latar belakang masing-masing.

Seperti Rencaka yang hidupnya lebih didominasi kemewahan yang terasa kosong, ciri khas utama keluarga pengusaha kaya raya. Bahkan dirinya juga mengatakan jika suatu hari nanti dirinya menghilang tanpa kabar seperti dua hari kemarin, maka alasannya tak akan jauh-jauh dari perintah mutlak yang terkesan di paksakan sang ayah. Tapi sebisa mungkin remaja itu berjanji, akan memberi kabar jika memang hal itu terjadi. Lagi.

Lalu untuk Jendarkala, remaja itu juga sedikit banyak bercerita tentang kerasnya didikan sang ayah yang memang seorang pemimpin mafia. Tentang luka, darah dan perintah yang sudah mengakar kuat menemani kesehariannya di rumah besar itu. Atau tentang kekerasan dan hukuman yang selalu menanti jika ia melakukan kesalahan. Atau bahkan tanpa alasan? Entahlah. Selain itu ada juga malam-malam panjang yang akan selalu ia lalui dengan peluh berujung lelah di arena pun juga deretan senjata. Rutinitas wajibnya setiap malam. Jendarkala, menceritakan semuanya.

Sedangkan untuk Nakarsa, bisa dibilang remaja itu masih lebih beruntung dibandingkan kedua sahabatnya. Sebab masih adanya figur ibu yang selalu ada dengan kasih sayang sempurna. Juga kata-kata penenang jika suatu hari dirinya butuhkan. Tapi hidup tetaplah hidup, mustahil sempurna dan pasti ada cela. Maka hal itu juga datang dari sang ayah, yang seringkali menghabiskan uang dengan berjudi dan meminum minuman keras. Bahkan tak akan segan memukul sang bunda jika apa yang diinginkan tak kunjung di berikan.

"Lagian lo aneh-aneh aja deh. Yang ngajak lo kesini kan gue, jadi gue yang bakal bayar semua makanannya. Jadi lo tenang aja, cukup duduk, diem, trus makan sampe kenyang. Nggak usah mikir kemana-mana."

"Tapi Ren...." Bantahan yang semula akan terlontar langsung terhenti, sebab tatapan datar cenderung mengintimidasi yang Rencaka berikan kepadanya.

"Udah, diem. Lagian gue juga nggak mungkin jatuh miskin cuma karena bayarin lo berdua makan. Dan lagi, apa menurut lo ekspresi gue sekarang keliatan mau di bantah?"

Nakarsa kicep, apalagi saat Jendarkala juga menambahi. "Nggak baik ngebantah perintah tuan muda."

Yang langsung di sambut jentikan jari si bahan omongan, lengkap dengan kata-kata, "Tuh, dengerin."


~°•°~

Tbc.





Holaa, aku kembalii
See you next chapter yaa ( walaupun belum bisa janji buat up rutin, tapi bakal aku usahain )
Just enjoy the story'
Love you and paipai👋🏻💗



Pub.191121
Rev.230522
hd_



Btw Renjunnya ganteng banget 😍😫😭

Btw Renjunnya ganteng banget 😍😫😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang