/// 23 ///

572 123 5
                                        

Gerbang Masalah

~°•°~


Seolah sudah menjadi kebiasaan, Rencaka akan selalu memasang wajah datar dengan sorot dingin saat memasuki ruang kerja milik Gibran di mension belakang.

Sembari diam-diam memantapkan hati dengan setiap kejutan yang selalu ayahnya berikan tanpa pikir panjang. Pun dengan setiap kata yang harus ia persiapkan agar tak kalah telak dengan pria dewasa berkuasa didalam sana.

Tapi kali ini ada yang berbeda, remaja itu tak datang sendiri. Melainkan dengan tiga orang bodyguard juga pak Hardi yang siap sedia mengikuti. Seolah tengah bersiap jika sewaktu-waktu dirinya berencana kabur, yang berakhir terkena amukan hebat dari sang ayah sebab tak bisa menjalankan perintah dengan baik.

Lalu Rencaka berdecih saat pintu didepannya dibukakan seseorang, sedangkan keempat pria dewasa yang sedari tadi mengikutinya langsung saja mengambil tempat di sekitar sana. 'Cih, kenapa tak ikut masuk saja sekalian.' Sarkasnya dalam hati, dengan perasaan dongkol sebab diperlakukan layaknya tawanan.

Tapi kemudian remaja itu melangkah masuk, segera saja melontarkan pertanyaan bahkan di detik ketiga setelah kedatangannya. "Pak Hardi bilang ada masalah besar, apa yang terjadi?"

Terlalu to the point, dan akan selalu seperti itu. Karena Rencaka memang tak terlalu suka berada disana, apalagi dengan tekanan dan sifat sang ayah yang begitu berkuasa. Seolah selalu menunjukkan dimana tempatnya, bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, bahwa dirinya hanyalah remaja lemah tak berdaya jika sudah menyangkut pengaruh besar yang dimiliki ayahnya.

"Cabang perusahaan kita di Jerman sedang mengalami beberapa masalah, jadi ayah mau kau yang menyelesaikannya kali ini. Dan ayah juga sudah selesai mempersiapkan kepindahanmu kesana, jadi kau bisa langsung berangkat sekitar satu jam dari sekarang."

Mendengar itu Rencaka kontan mengernyit, ada perasaan tak suka juga tak terima dengan perintah semena-mena yang ayahnya lontarkan padanya. "Pindah? Apa ayah serius tentang itu? Bahkan ayah tak pernah mengatakan apa-apa tentang hal ini sebelumnya. Ayah cuma bilang kalau aku hanya harus mengurus anak perusahaan kita disini. Bukan yang ada di luar negeri juga."

"Dan serupa dengan hal itu, kau juga tak pernah mengatakan apa-apa tentang siapa yang akhirnya kau ajak tinggal di apartemen itu." Terlampau cepat dan tenang. Tapi siapapun pasti tahu, jika dibalik sederet kata yang dilontarkan Gibran barusan, juga terdapat sebuah ancaman yang tak main-main. Terkhusus bagi Rencaka, anaknya.

Sedangkan remaja itu sendiri juga langsung memberengut tak suka. "Ayah memata-matai ku?"

Lalu semakin tak suka saat menyadari pertanyaannya adalah pertanyaan terbodoh yang pernah ia lontarkan. Apalagi dengan sikap otoriter dan mendominasi milik sang ayah. Sudah jelas hal itu pasti terjadi, bahkan tanpa harus diperjelas lagi.

"Anggap saja seperti itu." Dan ya, terdengar mudah sekali kalimat itu terlontar.

"Dan jangan lupakan satu fakta utamanya, bahwa kemarin kau juga sudah berani mangkir dari kewajiban dan janji yang kau buat sendiri. Lalu siapa yang bisa menjamin bahwa hal itu tak akan terulang lagi jika ayah tak segera bertindak. Jadi cukup anggap ini sebagai pendisiplinan dari ayah, dan kau akan lebih mudah menjalankannya."

"Apa ayah fikir semuanya akan semudah itu? Enggak kan? Bahkan aku yakin ayah juga memikirkan hal yang sama. Jadi aku tegasin satu hal ke ayah, jangan pernah ganggu mereka apapun alasannya. Apalagi hanya karena masalah personal diantara kita."

Mendengar sebuah peringatan dengan emosi yang mulai tersulut dari sosok remaja yang tak lain adalah putra kandungnya malah membuat Gibran terkekeh, bahkan suaranya terdengar menggema di setiap sudut di dalam ruangan bercahaya minim itu.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang