Kedua Diantaranya
-~°•°~
Suasana sudah lebih kondusif setelah ketiga siswa perusuh itu berlarian meninggalkan taman belakang, menyisakan empat remaja lain yang masih diam di posisinya masing-masing.
"Kita duduk di sana." Rencaka berujar acuh, memimpin jalan mendekati kursi taman yang melingkari meja kayu. Diikuti tiga remaja lainnya dari arah belakang.
"Kenapa pada diem? Duduk." Rencaka kembali berujar, menatap bingung pada dua remaja lain yang lebih memilih berdiri bersama Haikal. Seolah enggan untuk duduk di samping kanan atau kirinya. "Lo juga Kal." Tambahnya.
"Biar gue ambilin kotak P3K dulu di ruang kesehatan." Remaja yang tadi di bantu Rencaka itu berseru lirih, hampir meninggalkan tempatnya berdiri saat suara lain lebih dulu menginterupsi.
"Nggak usah, tadi gue ke sini bawa kotak P3K."
Itu siswa yang tiba-tiba muncul dan membantu mereka. Sosok yang sama yang Rencaka tau bernama Jendarkala - dari tulisan name tag yang dia pakai, juga sosok yang tadi pagi sempat menarik perhatiannya di tribun lapangan outdoor.
"Thanks." Jendarkala berujar datar, meletakkan kotak P3K itu di atas meja kayu - yang sebelumnya dia ambil tak jauh dari posisi kursi taman, lalu melenggang pergi tanpa sepatah kata lagi.
Sedangkan Jendarkala tadinya memang sempat melihat Haikal yang mengantri di kantin sekolah, lalu mengikutinya sampai taman belakang karena ingin mengembalikan kotak P3K milik Rencaka. Tapi saat melihat keributan kecil yang terjadi di sana, remaja itu langsung melemparkan kotak P3K yang dia bawa dan membantu dengan segera.
"Jendarkala emang gitu." Pandangan Rencaka yang semula menatap kepergian Jendarkala langsung beralih, "Ah, gue sampek lupa. Gue Nakarsa, Nakarsa Laranja Ryuzaki. Makasih lo udah mau bantuin gue." Ucapnya sungkan. Cukup kentara dari cara bicara dan gerak-gerik tubuhnya.
Rencaka mengangguk kecil. "Gue Rencaka. Dan dia Haikal."
"Gue tau." Melihat kerutan samar di dahi Rencaka, Nakarsa langsung kembali berujar. "Kita sekelas kalo lo belum tau."
Rencaka masih diam, mencoba mengingat-ingat kembali wajah teman barunya di kelas. Tapi nihil, dia tak mengingat siapapun. Bahkan wajah Nakarsa yang saat ini duduk tepat di depannya.
"Jendarkala juga sekelas sama kita, tapi dia sering bolos. Sama kayak tadi pagi."
Oh, sekarang Rencaka paham. Jendarkala tadi pagi tiduran di tribun lapangan karena sedang bolos kelas. Pantas saja.
"Lo sendiri?"
"Ya?" Nakarsa langsung memandang bertanya kearah Rencaka, bahkan pergerakannya yang tengah membantu mengobati luka memar di wajah Haikal sampai terhenti.
"Lo sendiri gimana? Apa lo juga selalu jadi bahan bully-an mereka kayak yang barusan gue lihat? Dan... Kenapa lo kelihatan takut banget sama Jendarkala?"
Rencaka kira pertanyaan yang ia lontarkan bukanlah hal yang sulit untuk di jawab. Tapi reaksi yang Nakarsa berikan justru sebaliknya. Bahkan remaja itu sampai terdiam cukup lama, entah memikirkan apa.
Sedangkan untuk pertanyaan kedua yang remaja itu lontarkan. Rencaka tak sebodoh itu untuk tak menyadari setiap gerakan canggung yang Nakarsa tujukan. Bukan kepada dirinya, melainkan lebih kepada sosok Jendarkala saat remaja itu masih ada di sana. Sebelumnya.
Belum lagi bagaimana raut ketakutan yang ditunjukkan ketiga remaja perusuh tadi, seolah menegaskan bahwa kedudukan Jendarkala di sekolah ini tidaklah main-main.
"Lo bisa cerita ke gue kalo lo mau. Lagian, berbagi cerita nggak akan ngebuat lo rugi. Justru sebaliknya, lo bakal ngerasa lebih lega setelahnya."
Detik selanjutnya Rencaka beranjak dari sana. Melangkah pergi bersama Haikal, meninggalkan Nakarsa yang masih terdiam seorang diri ditempatnya.
∆•∆•∆•∆
"Maaf tuan, apa saya boleh bertanya?"
Pria paruh baya dengan setelan jas rapi itu menghentikan pekerjaannya, menatap kearah seseorang yang berdiri tepat di samping meja kerjanya. Seseorang yang sudah menjadi kepercayaannya selama bertahun-tahun. "Tentang apa?"
"Rencana baru anda. Apa benar tuan merombak total semuanya? Saya hanya takut salah melangkah dan merusak semua rencana yang selama ini tuan susun."
Yang di tanya langsung terkekeh kecil, lantas merubah ekspresi wajahnya menjadi dingin kembali hanya dalam hitungan detik. "Ya, ini memang rencanaku. Rencana yang baru-baru ini ku buat. Dan kau... aku harap kau bisa menjalankan semuanya dengan baik. Tanpa masalah sekecil apapun. Kau mengerti?"
"Iya tuan. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
Lalu, sebuah senyum smirk tercipta. "Bagus."
∆•∆•∆•∆
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Membuat atensi Rencaka yang semula memandang keluar jendela kini teralihkan kearah pintu kamar.
"Ada apa?""Maaf mengganggu tuan muda, tapi bibi cuma mau bilang kalau makan malam sudah siap." Bibi Laksmi, ibu dari Haikal yang menjadi kepala pelayan di rumah besar itu bersuara, masih dengan pintu kamar yang tertutup rapat tentu saja.
Rencaka sendiri hanya mengiyakan, sedangkan atensinya sudah kembali menembus jendela kaca di depannya. Memandangi rembulan yang malam ini hanya terlihat sebagian, mungkin karena cuaca malam yang tiba-tiba berubah mendung.
Tak lama setelahnya, remaja itu memutuskan beranjak. Meluar dari kamar dengan beberapa kali helaan nafas, mencoba meringankan beban yang memberatkan kedua pundaknya.
Menuruni setiap anakan tangga, dengan beberapa penjaga juga pelayan yang senantiasa menunduk hormat kearahnya.
Langkahnya terus berlanjut, dan berakhir di salah satu kursi meja makan yang tersedia.
"Apa bibi tidak bisa menemaniku makan? Setidaknya untuk malam ini saja?" Kepala pelayan yang berdiri tak jauh dari tempat Rencaka itu hanya bisa menunduk, merasa bersalah setiap kali pertanyaan itu terlontar dari mulut tuan mudanya.
"Maaf tuan muda."
Mendengar itu Rencaka hanya bisa menghela nafas, lagi. "Sudahlah." Ujarnya. Lalu mulai menyantap hidangan yang sudah tersedia di sana. Sudah terbiasa menerima penolakan untuk hal yang sama, berulang kali.
Ya, bisa dibilang ini adalah gambaran kecil tentang bagaimana suasana di kediamannya.
Tentang kemewahan yang membalut kekosongan yang nyata, atau kemegahan yang menutup sempurna adanya hampa.
Rencaka bersahabat baik dengan itu semua.
Bahkan jika ada yang bertanya kepadanya tentang apa itu definisi keluarga.
Remaja itu tak tau harus menjawab seperti apa. Dia sudah terlalu abu-abu untuk mendefinisikan satu kata itu. Semua tentangnya sudah tak tergambar jelas, bahkan terlalu rumit hanya untuk diingat. Atau mungkin, dirinya memang tak memiliki kenangan berharga sedikitpun hingga bisa dikenang? Entahlah.
Rencaka juga tak bisa membedakan, siapa yang seharusnya dia anggap sebagai keluarga. Mereka yang memilki aliran darah yang sama? Atau mereka yang memberikan perhatian secara nyata?
Karena keduanya jelas-jelas bersumber dari jajaran orang yang berbeda. Setidaknya untuk remaja bernama Rencaka.
~°•°~
Tbc.
Lagi mood, mangkanya up
Btw thank you buat voment penyemangatnyaa
And love you💗Pub.101121
Rev.220522
hd_

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
Fiksi PenggemarJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...