Penawaran Dan Negosiasi
~°•°~
"Apa lo yakin Rencaka akan baik-baik aja kita tinggal sendirian di rumah?"
Yang merasa di tanya hanya diam sambil menolehkan kepala ke kursi samping kemudi, sudah terlalu lelah dengan pertanyaan yang sama sejak perjalanan mereka menuju ke sekolah pagi ini.
"Kita udah kasih tau Haikal, pasti dia langsung ke rumah lo buat ngecek kondisi Rencaka. Jadi lo tenang aja."
Nakarsa hanya mampu diam dengan jari saling bertautan, juga kerutan samar di dahi yang semakin mempertegas kekhawatiran. "Tapi kalo dia bangun duluan trus butuh sesuatu sebelum Haikal datang gimana?"
"Apa lo mau kita putar balik aja? Bolos sekolah dan ngelewatin presentasi hari ini?"
Yang ditanya sontak menggeleng kuat. Merasa frustasi sebab rasa khawatirnya yang sangat besar kepada Rencaka, sedangkan status beasiswanya juga tak mengizinkan dirinya untuk melakukan hal semena-mena.
Sedangkan untuk Jendarkala sendiri, remaja itu memang sudah sering bolos pelajaran. Tapi untuk bolos sekolah, dia belum punya cukup keberanian untuk sekedar memikirkannya. Sebab, sang ayah pasti akan murka jika mata-mata yang ia tempatkan di sekitar gerbang sekolahnya sampai melapor jika tak melihat dirinya datang ke sekolah pagi ini. Belum lagi fakta bahwa ia yang semalam memutuskan untuk tak pulang dan menginap di rumah Nakarsa, sudah bisa di pastikan bahwa akan ada sedikit pelajaran yang akan ia terima nanti sesampainya ia di rumah.
Tapi meskipun begitu, ia tak menyesal telah melakukannya. Apalagi jika mengingat bagaimana kondisi Rencaka yang jauh dari kata baik-baik saja semalam kemarin. Bahkan sahabatnya itu terus meracau sepanjang malam dengan suhu tubuh yang berubah panas hingga pagi ini. Membuatnya tak tega jika harus meninggalkannya berdua dengan Nakarsa.
"Oh iya Na...." Pandangan keduanya bertemu, cukup lama karena memang mobil keduanya sedang terjebak dalam lampu merah. "Apa Rencaka udah sempet cerita sesuatu waktu gue belum datang ke rumah lo kemaren?"
Respon gelengan langsung diterima oleh Jendarkala dari tempatnya. "Rencaka cuma bilang kalo dia bodoh karena udah berharap sama ayahnya. Sama kayak racauan dia yang lo denger semaleman kemarin."
Hening sejenak,
"Tapi gue nggak yakin kalo Rencaka bisa sekecewa ini kalo masalahnya cuma karena ayahnya yang nggak dateng buat makan malam." Lanjut Nakarsa beberapa saat kemudian. Membuat pandangan keduanya kembali bertemu. Lagi.
"Maksud lo?" Jendarkala bertanya, berusaha memperjelas ucapan Nakarsa sebelumnya.
"Gue yakin masih ada banyak hal yang dia sembunyiin dari kita. Atau seenggaknya belum dia ceritain?"
Dan Jendarkala hanya mengangguk ragu beberapa kali, masih dengan fokus kearah jalanan di depan sana. "Ternyata bukan cuma gue yang mikir kayak gitu." Gumamnya lirih, bahkan sampai tak terdengar oleh Nakarsa yang duduk di sampingnya.
∆•∆•∆•∆
Pagi ini, terhitung tiga hari sudah Rencaka menginap di rumah Nakarsa. Enggan untuk pulang atau sekedar memberi kabar kepada orang rumah. Bahkan remaja itu lebih memilih meminta Haikal untuk mengantarkan segala sesuatu yang sekiranya ia perlukan selama ia menginap di rumah sahabatnya itu. Lagipula Rencaka yakin, ayahnya tak akan mungkin peduli sekalipun ia tak akan pernah menginjakkan kakinya kedalam rumah besar itu lagi. Karena yang ayahnya butuhkan hanyalah otak dan tenaganya, bukan kehadiran dari raga putranya.
"Ren..."
Rencaka bergumam. Mengalihkan pandangan dari layar datar di depan sana kearah Nakarsa yang duduk di sebelah kanannya, tepat di tengah-tengah antara dirinya dengan Jendarkala. Sejenak melupakan keseruan menonton film action di minggu pagi menjelang siang ini. "Kenapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/290998933-288-k417862.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...