Kian Rumit
~°•°~
"Kita perlu bicara Jen."
Si pemilik nama yang baru saja keluar dari sebuah minimarket itu kontan menghentikan langkah, menggenggam semakin erat pada kantong plastik ditangan sebelum berbalik badan. Ia mengenal dengan baik pemilik suara ini.
Di posisinya, Rencaka nampak beranjak dari salah satu kursi yang tersedia di depan minimarket dua puluh empat jam itu. Memandang lurus sosok Jendarkala yang masih bergeming di tempatnya, membalas tatapannya.
Rencaka sejenak menghela nafas, memilih mengulangi keinginannya pada sang lawan bicara. Dengan susunan kata yang ia buat berbeda. "Bisa kita duduk dulu? Gue perlu bicara."
Jendarkala masih bergeming.
"Lima belas menit." Rencaka mengajukan penawaran, terlihat tak ingin memaksa. Tapi bagaimanapun keadaannya, hal ini perlu dilakukan. Karena remaja itu tak ingin jika persahabatan yang telah terjalin selama beberapa bulan terakhir ini harus kandas hanya karena kesalahpahaman.
Lalu senyum tipis itu terpatri, mendapati sahabatnya berjalan mendekat. Mendudukkan diri persis di kursi samping kanannya.
Kemudian hening, sejujurnya Rencaka sendiri bingung harus memulai semuanya dari mana. Pun merutuki kecanggungan yang terjadi hanya karena ketidakjelasan yang ada diantara mereka.
Hingga akhirnya, usakan kasar pada surai hitam menjadi pelampiasan. Dengan helaan nafas berat yang lagi-lagi nampak lolos terdengar.
"Gue minta maaf." Kalimat sakral itu akhirnya terdengar.
"Gue minta maaf karena gue udah ngusir kalian berdua kemaren lusa." Ada jeda, remaja itu nampak sangat frustasi dalam rentetan penjelasan yang akan ia sampaikan. "Gue ngelakuin itu karena terpaksa Jen, dan gue harap lo bisa ngerti sama alasan yang lagi-lagi belum bisa gue ceritain sekarang."
Jendarkala masih bergeming, hanya menatap datar sosok lawan bicaranya. Karena sejujurnya, remaja itu sudah benar-benar muak pada 'alasan yang belum bisa gue ceritain' milik Rencaka. Yang selalu terdengar tanpa perubahan, pun kian memuakkan setiap harinya. Dan itu sukses membuatnya merasa tak dipercayai sebagai seorang sahabat.
Sedangkan keterdiaman Jendarkala total membuat Rencaka semakin gusar, bingung sendiri mau melanjutkan bagaimana.
Apalagi jika mengingat sifatnya yang terbiasa egois dan tak terbantahkan, akan terasa begitu asing saat harus mengatakan maaf dan menekan begitu dalam egonya yang terlampau tinggi. Remaja itu tak terbiasa, perasaan mengalah benar-benar baru pertama kali ini ia rasakan.
Tapi setidaknya itu terdengar lebih baik. Daripada harus menceritakan semua kebenaran tentang sang ayah, yang bahkan mampu membuatnya meradang hanya dengan memikirkannya.
Rencaka sendiri mungkin benar-benar menempatkan nama Gibran di list utama jajaran orang yang paling ia benci, tapi menjelek-jelekkan namanya didepan orang lain jelas bukan gayanya. Dia masih ingin dipandang sebagai anak dari keluarga yang wajar, bukan dengan permasalahan keluarga yang terdengar jauh dari kata normal.
Remaja itu juga lebih memilih menghadapi segalanya sendiri, menanggung semua kesakitan tanpa harus melibatkan orang lain. 'Bukankah berbagi kebahagiaan jauh lebih baik dari pada menyebar kesakitan?' Setidaknya itu yang selama ini ia yakini. Menjadikannya kuat meski beberapa kali hampir terjatuh sebab kehilangan pegangan. Intinya, dia masih mau berusaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...