Terulang Lagi
~°•°~
Tak ada yang lebih kacau saat seseorang yang nyatanya memiliki sebuah mobil pun seorang bodyguard yang siap sedia mengantarkan, lebih memilih menghentikan sebuah taksi dengan begitu kacau dan tak teraturnya.
Terduduk di kursi belakang dengan pandangan gelisah pada sisi jalan, menggerakkan acak kedua kakinya dengan kuku tangan yang senantiasa ia gigiti. Seakan jadi gerak alami yang selalu ia lakukan saat merasa begitu kacau sebab rasa khawatir yang berlebih.
Dan seolah tak cukup sampai disitu, remaja dengan setelan kaos putih dengan bawahan berwarna hitam itu kini juga terlihat tengah berlarian di sepanjang koridor rumah sakit dengan sorot khawatir. Mengabaikan fakta jika langkah lebarnya bisa saja menabrak orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya.
Hingga tanpa sadar, langkahnya semakin melambat dengan tatapan terpaku. Apalagi jika bukan karena netranya yang bersitatap dengan seorang dokter yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Lalu anggukan singkat itu ia terima, meyakinkan dirinya untuk kembali melanjutkan langkah memasuki sebuah kamar dibelakang si pria berjas putih.
Dan benar saja, hanya dengan itu Rencaka sudah kembali berlarian mendekat. Membuka pintu kamar dengan tiga digit angka tergantung di sana dengan begitu tak sabaran, membuat seseorang yang awalnya duduk memunggungi dengan menatap kearah jendela langsung menengok kearah sumber suara yang ia hasilkan.
"Bunda..."
Hanya itu, sebelum serangan pelukan dengan isakan teredam di bajunya kembali membuat Rencaka terdiam. Mencoba mencerna situasi dengan dada naik turun sebab sehabis berlarian sepanjang koridor.
"E-enggak... j-jangan, jangan pernah tinggalin bunda Aka...cukup Ala, cukup dia aja yang nggak pernah datengin bunda. Aka jangan."
Entah kenapa Rencaka malah tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca, hatinya menghangat dalam sekejap. Pun dengan kekhawatiran yang perlahan melebur meninggalkan sudut hati.
Bundanya, sosok wanita yang paling Rencaka sayangi di dunia ini tengah memeluknya. Mengatakan unek-uneknya meski dengan sesekali isakan yang teredam. Dan hal itu, terjadi untuk pertama kalinya dalam hidup Rencaka.
Tentu saja dia bahagia. Karena itu berarti bundanya telah mengalami kemajuan dalam kondisinya, terbukti dengan ditunjukkannya emosi setelah sekian lama meski hanya dengan sebuah tangisan tertahan juga sebuah permohonan.
Karena yang Rencaka tahu, selama beberapa tahun belakangan ini bundanya hanya bisa terdiam dengan menatap kosong kearah depan. Atau hanya menangis histeris sebab suatu hal yang mengganggunya. Bukan ekspresi penuh arti yang selalu ia harapkan pun kini ia dapatkan, meski juga tak memberikan sebuah penolakan jika dirinya memberikan sebuah perhatian.
Lalu tangan Rencaka bergerak membalas pelukan, dengan senyuman hangat yang masih setia menghiasi kedua sudut bibirnya. "Iya bunda, Aka janji. Aka juga minta maaf karena terlalu sibuk akhir-akhir ini."
Dan begitulah, akhirnya Rencaka menemani wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu hingga hari berganti menjadi malam. Mengabaikan panggilan masuk dari sang ayah juga Haikal yang pasti tengah mencari keberadaannya kini.
Tapi Rencaka tak peduli, yang terpenting saat ini adalah bundanya. Karena demi apapun, mendapat panggilan dengan pemberitahuan jika sang bunda kembali histeris dan selalu menanyakan keberadaannya benar-benar membuatnya sakit. Membuatnya hilang akal hingga hampir gila rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
Fiksi PenggemarJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...