Kembali Setelah Menghilang
-~°•°~
Pagi ini berjalan seperti di tiga pagi sebelumnya, remaja yang di kenal sebagai siswa yang bersekolah dengan beasiswa itu lagi-lagi berangkat dengan Jendarkala yang menghampirinya di depan halte bus. Menghiraukan desas-desus yang semakin menyeruak di seluruh penjuru sekolah. Bahkan Jendarkala tak segan-segan untuk melemparkan tatapan membunuh jika dirasa ocehan siswa-siswi di sekitarnya sudah mulai mengganggu.
"Lo masih takut sama gue?"
Suara khas remaja yang tengah mengemudi mobil itu terdengar, membuat Nakarsa yang sedari tadi hanya terdiam kaku di kursi samping kemudi itu sedikit berjengkit kaget. "Hah?"
"Atau lo nggak nyaman sama omongan anak-anak di sekolah?"
"Eh enggak, bukan gitu." Nakarsa menjawab cepat, takut-takut jika Jendarkala semakin salah paham nantinya.
"Tapi sikap lo ngebuktiin itu semua, Na."
Nakarsa diam, tak bisa membalas ucapan Jendarkala karena ia yang memang mengakui semuanya. Tapi sungguh, ia tak bermaksud menyinggung perasaan Jendarkala dengan sikapnya ini. Karena memang inilah dirinya, sosok yang lebih suka diam sebab tak pandai mengutarakan perasaan. Lagipula, dirinya juga tak mau jika dianggap terlalu memaksakan kedekatan pada seseorang yang belum tentu benar-benar mau bersahabat dengannya.
"Kalo gitu ayo kita mulai semuanya dari awal." Pandangan Nakarsa yang semula menunduk, kini kembali menatap Jendarkala yang fokus kearah depan. Kearah jalanan pagi yang terlihat cukup padat. "Mulai sekarang, jangan dengerin apapun yang mereka katakan. Tentang lo, tentang gue, atau bahkan tentang Rencaka. Dan gue akan berubah demi kalian berdua." Lanjutnya dengan netra yang membalas pandangan Nakarsa, lantas memutus pandangan sedetik kemudian.
Hening. Nakarsa masih tak tau harus merespon bagaimana. Bahkan sampai mobil sedan itu memasuki area parkiran dan berhenti tepat di tempat yang kosong, keduanya masih diam.
"Gue mau ke toilet bentar, lo duluan aja ke kelasnya." Jendarkala mengangguk, memandangi sosok Nakarsa yang keluar dari mobil dan berjalan menjauhi area parkir. Dengan pergerakan kaku yang cenderung tergesa.
Tak lama remaja itu juga melakukan hal yang sama, keluar dari mobil dan segera beranjak dari sana. Tapi belum genap langkahnya keluar dari area parkir, netra hitam itu tak sengaja melihat sebuah sedan yang cukup familiar. Terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri, juga seseorang dengan pakaian serba hitam yang bersender di badan mobil, membelakanginya.
Bukannya mendekat, Jendarkala malah berlarian meninggalkan parkiran secepat mungkin. Menyusuri koridor kelas dengan pandangan kesana-kemari mencari seseorang. Hingga netranya menangkap seseorang itu, tengah berjalan santai memasuki toilet di samping ruang kesenian.
∆•∆•∆•∆
Sebuah pukulan hampir saja mendarat di wajah seorang remaja jika Rencaka tak secepat kilat menahan pukulannya. Netra indahnya menyorot dingin, dengan sekuat tenaga menghempaskan lengan si pelaku yang sempat ia genggam kuat-kuat.
Si pelaku yang tak lain adalah Akmal langsung mendengus keras, menatap tak bersahabat pada sosok yang lagi-lagi merusak kesenangannya. "Lo lagi lo lagi. Kenapa sih lo harus dateng setelah dua hari nggak muncul? Ganggu kesenangan gue aja."
Rencaka tak membalas. Melangkahkan kakinya semakin memasuki area toilet, berdiri tepat di depan seseorang yang hampir terkena pukulan tadi. Ya, siapa lagi kalau bukan Nakarsa.
"Lagian gue nggak tau apa motivasi lo yang notabene anak dari keluarga terpandang mau repot-repot temenan sama dia. Si anak beasiswa yang bahkan kastanya jauh berada di bawah lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...