/// 3 ///

1.2K 204 13
                                    

Potongan Latar Belakang
-

~°•°~


Jendarkala Zoran Afkari, remaja tujuh belas tahun itu terlihat tengah berdiri di balkon kamar. Memasang wajah datar, dengan nafas kian sesak sebab perasaan hampa yang lagi-lagi menyerangnya.

Pikirannya berkecamuk, merasa begitu kacau entah karena apa. Netra sehitam jelaga itu masih tetap memaku lekat, pada sekumpulan orang berbaju hitam dengan pergerakan selaras dengan hitungan si pemimpin dibawah sana. Bahkan remaja itu abai pada semilir angin yang berhembus kian menembus kaos putihnya, lebih tertarik pada pemandangan terlampau biasa yang bahkan terkesan membosankan. Atau bahkan memuakkan?

Tapi tak ada pilihan, letak kamarnya memang se-strategis itu. Dengan balkon kamar yang langsung menghadap kearah samping, pun langsung menjurus halaman belakang yang tersembunyi dari arah luar, juga pintu gerbang yang menjulang tinggi di depan sana. Membuatnya bisa menjangkau semuanya dengan sekali sapuan mata.

Hingga tak berapa lama kemudian, remaja itu beranjak dari tempatnya. Memasuki area kamar hanya untuk berganti pakaian. Senada dengan sekumpulan orang-orang tadi, serba hitam.

Lantas turun dengan sesekali membenarkan surai lebatnya, masih dengan wajah datar tanpa ekspresi. Memantapkan hati untuk melakukan rutinitasnya setiap hari beranjak malam, berlatih bela diri juga beberapa jenis senjata sesuai perintah sang ayah.

"Selamat malam tuan muda." Yutaka, orang yang di percaya sang ayah untuk melatih Jendarkala akhirnya menyapa. Menunduk dalam diikuti semua orang yang berada di halaman mension belakang malam itu.

Sedangkan salah satu sosok termuda disana memilih acuh, tak terlalu berminat pada formalitas palsu yang selama ini ia terima. Dan mengabaikan adalah cara ampuh untuk mengatasi itu semua.

Hingga didetik berikutnya, Jendarkala langsung menuju ke tengah arena dan memasang kuda-kuda. Memandang lurus dengan fokus kearah Yutaka yang juga melakukan hal yang sama. Dalam hati ingin segera mengakhiri semua rutinitasnya malam ini.

Dan ya, latihan bela diri malam itu akhirnya di mulai. Jual beli pukulan tak dapat dihindarkan, bahkan serangan tak terduga juga kerap kali terjadi dan membuat sang rival memekik berusaha bertahan.

Agenda selanjutnya juga tak kalah pentingnya, bahkan lebih memacu adrenalin saat kaki mulai melangkah memasuki sebuah ruangan dengan berbagai macam jenis senjata yang tersedia. Terpampang dengan jajaran rapi seolah merayu setiap pasang mata agar segera menggunakannya.

Tapi semua tak semenggairahkan itu bagi Jendarkala. Karena pada kenyataannya, pemandangan yang akan membuat kebanyakan orang menganga tak percaya itu justru semakin membuatnya jenuh. Terlampau biasa karena telah menjumpainya sejak bertahun-tahun lamanya. Jendarkala, hanya ingin pembaruan yang nyata dalam hidupnya.

Tapi seolah menghiraukan itu semua, juga rasa letih pun siksaan batin yang selama ini remaja itu rasa, Yutaka masih saja enggan menghentikan pelatihan bahkan saat jarum jam telah menujuk angka satu sebagai fokusnya.

Memaksa Jendarkala untuk kembali pada titik target saat dirasa lelah dan kantuk mulai perlahan menggoyahkannya. Mau bagaimana pun, ini mutlak perintah dari sang tuan besar. Maka saat batas waktu yang telah ditetapkan belum tercapai, Jendarkala masihlah harus berkutat pada senjata api berperedam ditangannya.

Membuat siapapun dapat dengan mudah menarik ujung benang merah dalam kehidupannya, tentang garis takdir yang seolah mempermainkan sosok rapuh dibalik tegarnya.

Jendarkala sendiri telah terbiasa dengan kerasnya kehidupan yang tanpa ampun. Bahkan bisa dikatakan bahwa darah dan luka sudah selayaknya makanannya sehari-hari, mustahil di hindari bahkan hanya untuk meminimalisasi.

Fakta ini jugalah yang membuatnya menutup diri, menjadikannya sosok dingin tanpa seseorang yang bisa memahami.

Selain karena ia yang tak pandai mengekspresikan emosi, kebenaran tentang sang ayah yang merupakan ketua mafia di seluruh daratan Asia hingga Amerika dan Eropa membuatnya di jauhi. Di pandang berbeda dengan label berbahaya, dikucilkan tanpa seorangpun berani mengusik.


∆•∆•∆•∆



Tumpukan buku dan deretan rumus adalah hal yang memuakkan bagi sebagian besar orang, tak terkecuali bagi Nakarsa.

Remaja dengan nama lengkap Nakarsa Laranja Ryuzaki itu sebenarnya juga merasakan hal yang sama, tapi kenyataan tentang dirinya yang hanya seorang anak beasiswa membuat Nakarsa tak bisa berleha-leha. Bahkan hanya untuk pergi tidur lebih awalpun harus benar-benar ia pikirkan jika tak ingin beasiswa yang selama ini ia perjuangkan melayang begitu saja.

Sama seperti malam ini contohnya. Nakarsa masih saja setia berkutat dengan tumpukan buku tugasnya, mengabaikan jam digital di atas meja belajar yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Padahal faktanya, deadline dari tugas itu adalah minggu depan. Yang artinya masih banyak waktu untuk mengerjakannya.

Tapi Nakarsa tetaplah Nakarsa, sosok yang lebih senang mengerjakan semua hal dari jauh-jauh hari. Meski harus dengan mengorbankan jam istirahatnya sendiri.

Tak lama, suara pecahan kaca dari arah luar membuatnya tersentak. Terdiam beberapa saat sebelum berlarian keluar kamar.

"Cepat, mana uang mu? Berikan padaku sedikit saja." Pria paruh baya bernama Prayoga yang tak lain adalah ayah tiri Nakarsa itu berujar lantang, dengan tubuh yang beberapa kali terhuyung lemah kearah meja.

"Aku udah nggak punya uang lagi mas. Semuanya udah kamu ambil kemaren. Bulan ini juga aku belum gajian." Arumi, ibu kandung dari Nakarsa itu mencoba menjelaskan. Air matanya bahkan sudah turun dengan posisinya yang terduduk di lantai rumah, mungkin akibat dari dorongan sang suami.

"Bunda?" Nakarsa berlarian mendekat, memeluk sang bunda yang terlihat langsung menghapus air matanya. Upaya darurat untuk menyembunyikan kesedihan dari sang putra tunggal.

"Bagus, akhirnya kau keluar juga. Mana? Berikan ayah uang. Ayah butuh uang sekarang."

Pandangan Nakarsa langsung tertuju pada sang ayah. Dan satu hal yang saat ini remaja itu sadari, lagi-lagi sang ayah pulang dengan keadaan mabuk. Juga kebiasaannya menyakiti sang bunda jika kemauannya tak segera di penuhi.

"Bukannya kemarin ayah udah ambil semua uang bunda?"

"Kau pikir berapa banyak uang bunda mu itu?" Prayoga menyela cepat, memandang bengis meski dengan kelopak mata sayu. Mungkin efek dari alkohol yang ia konsumsi.

"Tapi aku sama bunda udah bener-bener nggak punya uang lagi yah. Semuanya udah habis waktu ayah ambil kemaren."

Mendengar itu, Prayoga langsung berteriak frustasi, membalik meja di sampingnya dan meneriakkan kata 'tak berguna' kearah Nakarsa dan sang bunda. Lalu melenggang pergi, masih dengan tubuh yang terlihat sempoyongan.

Selepas kepergian Prayoga, Nakarsa langsung menatap khawatir sang bunda. "Bunda nggak papa? Ada yang sakit?"

Arumi hanya menggelengkan kepalanya, tersenyum simpul meyakinkan sang putra. "Enggak, bunda nggak papa. Kamu sendiri nggak papa kan?"

"Naka nggak papa bun. Tapi maaf, Naka lagi-lagi nggak bisa ngelindungin bunda dari ayah." Ujarnya penuh penyesalan.

Senyum simpul lagi-lagi terbit dari sudut bibir wanita paruh baya itu, tangannya bahkan terulur mengelus surai hitam sang anak kesayangan. "Enggak, kamu nggak salah. Lagian bunda juga nggak di apa-apain sama ayah. Jadi kamu tenang aja ya?"

Nakarsa mengangguk ringan, lalu kembali menghambur ke pelukan hangat sang bunda. Dalam hati menyesali karena lagi-lagi tak bisa melakukan apa-apa untuk sang bunda.

Setidakberguna inikah dirinya?




~°•°~

Tbc.


Aku kembaliiii
Ada yang kangen?
Hehe nggak deng, becanda
But, still love you💗
Btw tanggal up nya cantik yaa😍

Pub.121121
Rev.220522
hd_

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang