/// 21 ///

671 123 3
                                        

Sebatas Formalitas

~°•°~


Hari demi hari berlalu menjadi minggu, dan terus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya. Semua berjalan seperti biasanya, pun dengan jalan yang sudah semestinya.


Terutama Jendarkala, remaja itu bahkan sudah berani kembali ke mansion besar milik ayahnya terhitung sejak lima hari setelah kejadian. Membuat kedua sahabatnya sempat uring-uringan sebab keputusannya itu, tapi tetap tak bisa melakukan apa-apa saat dirasa tekad sahabatnya lebih kuat dalam beradu argumen.

Dan hal serupa juga terjadi kepada Rencaka. Remaja itu juga semakin sibuk dengan tugas-tugas kantor yang diberikan ayahnya, semakin merenggut habis waktu-waktu luang yang seharusnya bisa dinikmati remaja-remaja lain diluaran sana. Yang membuatnya hanya bisa berada di apartemen saat hari sudah menjelang larut, atau bahkan hampir menyambut pagi.

Sedangkan untuk Nakarsa sendiri, remaja itu tak terlalu sibuk seperti layaknya kedua sahabatnya. Hanya akan mengisi waktu siang hingga sore harinya untuk membantu sang bunda di cafe milik Rencaka, atau berkutat dengan tumpukan buku dan sederet rumus saat matahari beranjak meninggalkan singgasana. Dan tentu saja, hal itu hanya akan terus berulang saat kedua sahabatnya tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Lalu, helaan nafas panjang terdengar bertepatan dengan suara keras dari ruang pemberitahuan. Apalagi saat sederet kalimat dari pengeras suara itu terdengar melontarkan kalimat himbauan, tentang keharusan bagi seluruh warga sekolah untuk segera berkumpul di gedung aula utama.

"Gue lagi males turun, mau tidur di sini aja." Sembari memperbaiki posisinya, tengkurap diatas sofa usang di rooftop sekolah. Karena sejak beberapa waktu terakhir, remaja itu memang tengah kekurangan jam tidurnya.

Tapi sebelum benar-benar bisa merealisasikan ucapannya, kekehan ringan dari Nakarsa kembali membuat Rencaka mengangkat pandangan. "Kenapa?" Dengan kerutan samar tanda bertanya.

"Nggak papa. Gue cuma lagi mikir aja, mungkin sekarang lo lagi lupa sama identitas diri lo sendiri?" Lalu terkikik geli dengan Jendarkala yang ikut serta. Membuat Rencaka sontak mendengus keras mendengar hal itu.

Bukan apa-apa, tapi Rencaka tau apa maksud dari ucapan Nakarsa barusan. Dan entah kenapa remaja itu justru benci dengan satu fakta itu meski diam-diam mengakui. Karena dia hanya ingin menjadi remaja biasa seusianya, dia hanya ingin dianggap selayaknya kebanyakan siswa sesamanya disana.

Lalu tangan kanannya semakin mengusak wajahnya kasar saat mendapati ponsel miliknya berdering dengan nama Haikal disana. Yang kontan membuat kekehan geli kedua sahabatnya kembali terdengar, sangat menyebalkan.

Tapi Rencaka tak punya pilihan lain, selain bangkit dan berlalu dengan kedua sahabatnya mengikuti. Berjalan menuruni tangga dan berakhir tepat didepan aula utama dengan Haikal yang terlihat menunggunya. "Mereka udah dateng?"

Haikal yang mengerti siapa yang dimaksud tuan mudanya segera saja mengangguk. "Sudah tuan muda, dan tuan serta nyonya telah menunggu anda di tempat yang sudah disediakan."

Lalu pandangan Rencaka melongok ke dalam ruangan yang sudah dihias  sedemikian rupa itu, dengan tema pameran yang memang diadakan sekolahnya dalam rangka ujian praktek kelas dua belas tahun ini.

Rencaka tak bermasalah dengan acara itu sebenarnya, pada awalnya. Sebelum mengetahui jika kedua 'orang tuanya' juga dijadikan tamu kehormatan beserta dirinya yang harus ikut serta. Duduk dengan formalitas palsu hanya agar terlihat selayaknya keluarga idaman di mata semua orang yang memandang. Ck, bullshit.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang