/// 20 ///

670 126 9
                                    

Sandaran Utama 2



~°•°~




Matahari sudah semakin kokoh di singgasananya saat Arumi kembali memasuki kamar salah satu putranya, meletakkan nampan yang ia bawa sebelum kembali mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang di sana.

Netranya menatap sunyi sosok remaja yang terlihat begitu damai meski dalam belenggu mimpi. Walaupun ia juga tak menampik, ada sedikit kekhawatiran saat tak sengaja mendengar racauan tak jelas Jendarkala di beberapa waktu sedari tadi pagi.

Tak berapa lama kemudian, suara dering ponsel terdengar dari atas nakas. Membuat wanita dengan surai hitam sebahu itu segera mengulurkan tangan, mengambil benda persegi itu untuk ia ketahui siapa si penelepon yang sudah menghubungi ponsel Jendarkala dari sebrang sana.

Hingga netranya terpaku menatap layar menyala itu, cukup lama. Sebelum suara Jendarkala terdengar bertanya pasal siapa yang telah menghubunginya, membuat Arumi tersadar dari keterdiamannya selama beberapa saat.

"Ayahmu."

Bersamaan dengan satu kata yang terlontar dari mulut Arumi, tubuh Jendarkala terlihat menegang dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebelum memperbaiki posisi dengan tangan terulur meminta ponsel pintarnya.

Sedangkan Arumi yang mengerti situasi langsung berpamitan keluar, meninggalkan Jendarkala dengan dering panggilan yang masih setia terdengar.

"H-halo..."

Arumi masih bisa mendengar itu, sebuah sapaan yang terdengar begitu ragu. Juga sarat akan rasa takut? Entahlah, Arumi tak yakin dengan itu. Hingga tanpa sadar membuatnya kembali terdiam selama beberapa detik dibalik pintu yang baru saja ia tutup, sebelum benar-benar berlalu dengan sebuah pemikiran yang sempat singgah di dalam otaknya. Tapi dengan sesegera mungkin langsung ia hilangkan meski terasa begitu sulit. 'Tidak lagi, kumohon.'

Sedangkan di dalam kamar, Jendarkala masih termenung sebab percakapannya dengan sang ayah yang baru saja usai beberapa saat yang lalu.

Tak banyak yang ayahnya katakan. Hanya sebatas pertanyaan tentang keberadaannya kini, juga tuduhan tepat sasaran tentang dirinya yang masih dalam tahap pelarian diri sebab satu kejadian di acara puncak semalam. Dan ya, diam-diam Jendarkala mengakui itu meski tak mengiyakan secara langsung.

Setelahnya, pemikiran Jendarkala kembali melanglang buana. Tentang bagaimana kedua sahabatnya yang masih mau menerima meski ia telah menceritakan semuanya.

Bahkan masih sangat jelas dalam ingatan, saat Rencaka menariknya dalam dekap erat dengan Nakarsa yang juga turut serta. Mengatakan bahwa itu bukanlah kesalahannya, juga keadaanlah yang memaksa dirinya hingga terjebak dalam situasi rumit itu.

Belum lagi usapan lembut di punggung lebar miliknya, secara berkala mampu menghantarkan sekelumit ketenangan yang selama ini begitu ia damba. Dan karena hal itu juga, Jendarkala mulai menyadari satu hal. Bahwa dirinya begitu beruntung memiliki sosok Rencaka juga Nakarsa dalam hidupnya.

Lalu, terhitung lima menit berselang setelahnya. Lamunan panjang Jendarkala harus buyar dalam sekejap sebab pintu kamar yang dibuka dari arah luar. Menampilkan kedua sahabatnya dengan seragam kusut yang masih melekat indah di tubuh keduanya.

Terlihat Rencaka lah yang pertama kali masuk, dengan langkah pasti mendekat kearah ranjangnya. Tangannya tanpa aba-aba terulur menyentuh dahi lebar Jendarkala, membuat remaja itu hanya diam membiarkan perlakuan sarat akan rasa perhatian dari sahabatnya. "Udah nggak panas." Final Rencaka.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang