Si Satu Yang Bertiga
-~°•°~
"Apa tuan muda tidak apa-apa?"
Kelopak mata indah dari seorang remaja yang duduk di kursi belakang sebuah mobil sedan itu bergerak perlahan, mengakhiri kecamuk pikiran yang sedari tadi mengganggunya.
Tatapannya masih mengarah pada deretan gedung yang seolah bergerak menghilang, enggan menanggapi pertanyaan remaja lain yang kini duduk di balik kemudi.
"Apa mungkin....."
"Gue nggak papa." Potongnya cepat, melirik tak suka pada sosok bernama Haikal. Sopir yang merangkap sebagai bodyguardnya. Ah, jangan lupakan bahwa dia juga asisten pribadinya. "Dan udah berapa kali gue bilang, jangan pakai bahasa formal kalo nggak ada orang lain."
"Maaf tuan muda, tapi saya sudah terbiasa seperti ini."
Remaja yang di panggil tuan muda itu terlihat menghela nafas. "Apa itu juga tertulis dalam surat perjanjiannya?"
Kali ini Haikal diam. Membuat remaja bernama lengkap Rencaka Arsanta Rajavardhana itu menggeleng tak habis fikir. Sudah terlalu lelah membahas hal yang sama setiap kali hal itu terulang. Lagi dan lagi.
Padahal jika Haikal mau mengerti, Rencaka hanya ingin lebih dekat dengan sosoknya. Menjadikannya sosok teman karena keduanya yang memang tumbuh bersama.
Tapi berulang kali juga Haikal menolak, selalu menegaskan bahwa keduanya berbeda. Bahwa Rencaka adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya, sedangkan Haikal hanyalah anak dari seorang kepercayaan dari ayah Rencaka.
Bahkan Rencaka sendiri tak mengerti. Kebaikan apa yang telah ayahnya lakukan sampai Pak Hardi - ayah dari Haikal, bersedia mengabdi dengan begitu setianya. Bahkan pria paruh baya yang sudah menjadi asisten pribadi Gibran - ayah Rencaka, selama bertahun-tahun itu bersedia menjadikan anak semata wayangnya sebagai bodyguard anak majikannya. Tak terkecuali sang istri yang kini juga menjadi kepala pelayan di kediaman Rencaka. Benar-benar pengabdian tanpa batas bukan?
Hingga beberapa saat berlalu, hanya hening yang terjadi. Sampai mobil sedan hitam yang ditumpangi keduanya berhasil melewati gerbang sebuah sekolah. Memarkirkannya tepat di parkiran mobil yang tersedia.
Haikal sesegera mungkin turun, berjalan cepat mengitari mobil lalu membukakan pintu untuk tuan mudanya.
Sedangkan Rencaka masih tetap diam. Keluar dari mobil dan berjalan teratur menyusuri koridor kelas yang sudah nampak sepi. Diikuti Haikal yang berjalan beberapa langkah di belakangnya.
"Gue mau ke toilet dulu. Lo langsung aja ke ruang kepala sekolah, wakilin gue."
Detik selanjutnya Rencaka pergi, setelah sebelumnya Haikal memberitahukan letak toiletnya dimana.
Karena sebelum menjalankan tugas, seorang bodyguard seperti dirinya pasti selalu mempelajari situasi dan kondisi dari tempat yang akan di datangi atasannya. Tak terkecuali bagi Haikal. Jadi tak mengherankan jika Haikal sudah mengetahui sedikit tentang seluk beluk bangunan sekolah itu dibandingkan Rencaka yang hanya seorang siswa baru.
Dan selama perjalanan menuju toilet di ujung koridor pun, netra indah Rencaka tak hentinya memandangi sekitar. Belum sepenuhnya percaya jika sang ayah mengizinkannya untuk sekolah secara formal, karena sejak kecil sosoknya memang selalu di paksa untuk menuntut ilmu dengan cara homeschooling. Seolah membatasi dirinya untuk mempelajari dunia luar.
Hingga satu hal tak terduga berhasil menarik perhatiannya, membuat Rencaka tanpa sadar berjalan mendekat.
Disana, di tribun penonton lapangan outdoor tepatnya. Rencaka bisa melihat seorang siswa dengan seragam yang sama dengannya tengah berbaring dengan mata tertutup. Menghiraukan jam pelajaran yang tengah berlangsung di kelas-kelas, juga sorot hangat matahari pagi yang langsung mengenai seluruh bagian tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
أدب الهواةJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...