/// 19 ///

621 125 3
                                        

Sandaran Utama


~°•°~




Pagi ini Arumi bangun seperti biasanya, dengan netra yang langsung memandang lurus jam digital diatas nakas. Lalu beranjak dari tempatnya untuk segera membersihkan badan sebelum keluar dari area kamar.

Wanita paruh baya itu juga langsung melangkah kearah kamar Nakarsa selepas kegiatan rutinnya di dalam kamar mandi. Menatap penuh tanya saat tak menemukan si empunya kamar di balik pintu dengan cat berwarna putih gading itu, bahkan pintu kamar mandi juga terbuka menandakan bahwa putranya memang sedang tak berada di sana.

"Naka kemana? Apa dia tidur sama Rencaka?" Gumamnya lirih dengan langkah kaki menuju pintu kamar selanjutnya.

Bisa dibilang ini juga salah satu kebiasaan baru Arumi, tentu saja setelah beberapa hari ini ia tinggal di apartemen bersama anak-anak yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri. Hanya untuk memastikan bahwa ketiga putranya memang sudah berada di kamar masing-masing setelah setiap malam selalu memaksa dirinya untuk pergi istirahat terlebih dahulu.

Tapi saat pintu kedua yang ia buka juga tak menampilkan si empunya ruangan, Arumi semakin bertanya-tanya dalam diamnya. Bergegas menuju kamar selanjutnya dengan tangan yang membuka knop pintu dengan tak sabaran. Lalu menghela nafas lega saat netranya menemukan ketiga putranya berada dalam satu kamar yang sama.

Tapi bukan itu yang saat ini menjadi pusat perhatiannya, melainkan posisi tidur Rencaka dan Nakarsa yang terduduk di lantai dengan menopang kepalanya pada lipatan tangan diatas ranjang. Juga sebuah handuk pengompres yang bertengger manis didahi lebar Jendarkala. Seolah menunjukkan bahwa Rencaka juga Nakarsa memang tengah menunggu Jendarkala yang entah sejak kapan mengalami demam tinggi.

"Bunda?" Suara serak khas bangun tidur milik Nakarsa akhirnya terdengar, membuat Arumi yang sedari tadi berada di ambang pintu akhirnya berjalan mendekat.

"Jendarkala kenapa?"

"Dia demam bun." Remaja itu hanya menjawab seadanya, seraya bangkit dan langsung meregangkan otot-otot di tubuhnya. Mungkin merasa pegal sebab posisi tidurnya yang tak nyaman sama sekali.

Yang langsung membuat kerutan samar seketika terpatri di dahi Arumi. "Kok bisa?"

"Mungkin kelelahan." Itu Rencaka yang menjawab, tak sepenuhnya salah tapi tak sepenuhnya benar juga. Karena semalam Jendarkala memang sudah menceritakan semuanya kepada mereka, tentang apapun yang terjadi di acara milik ayahnya itu. Juga, Rencaka yang merasa tak memiliki hak untuk sekedar bercerita kepada Arumi. Karena baginya, ini murni keputusan Jendarkala untuk berbagi atau menyimpan masalahnya sendiri.

Setelahnya Rencaka juga langsung melakukan apa yang tadi dilakukan Nakarsa dari tempatnya berdiri, meregangkan otot-otot tubuhnya hingga merasa lebih baikan.

Awalnya Arumi juga hanya manggut-manggut kecil mendengar itu. Hingga beberapa detik setelah mencerna situasi, Arumi mulai menyadari satu hal. "Kok kalian nggak bangunin bunda kalo tau Jendarkala demam?"

Pergerakan kedua putranya sontak terhenti, saling melempar pandangan sebelum meringis kecil seraya menggumamkan kata maaf.

Sedangkan wanita paruh baya yang dipanggil bunda itu hanya bisa geleng-geleng kepala, lalu semakin mendekat dan mendudukkan dirinya di pinggiran tempat tidur. Mengulurkan tangannya kearah dahi Jendarkala, tentu saja setelah menyingkirkan handuk pengompresnya. Lalu menghela nafas lega saat suhu tubuh salah satu putranya itu sudah mulai kembali normal.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang