Fokus Utama
~°•°~
Rencaka, remaja yang saat ini tengah menumpukan dahi di atas meja kerjanya itu lagi-lagi terlihat menghela nafas. Melempar sebuah bolpoin yang sedari tadi berada di genggamannya hingga membentur lantai dan patah tak berbentuk.
Nafasnya naik turun tak beraturan, selaras dengan emosi yang kian menyulut habis ketenangan yang sedari tadi coba ia pertahankan.
Begitupun pikirannya, terlampau kacau dengan berbagai masalah yang seolah bercabang dan tak tau diri menyerangnya diwaktu yang bersamaan.
Padahal, remaja itu hanya ingin meluangkan waktunya sedikit saja. Setidaknya untuk menyantap makanan dengan tenang atau terlelap barang sejenak tanpa gangguan.
Tapi seolah abai dengan keinginan hati dan tubuhnya, Rencaka lebih memilih melirik kearah jam besar berwarna silver di dinding ruangan. Mengurut pangkal hidungnya dengan maksud menghilangkan rasa pusing yang mendera tiba-tiba di jam dua dini hari.
Sejenak remaja itu menggeleng, "Gue harus tidur dulu." Gumamnya lirih sedikit tak rela. Dengan tangan meraih salah satu ponselnya dari atas meja, lalu mengatur sesuatu sebelum kembali menumpukan dahinya seperti semula. Bersiap mengarungi mimpi.
Tapi seolah kebutuhan tubuhnya adalah kemustahilan yang nyata, netra sehitam jelaga itu harus kembali terbuka karena tubuhnya yang tersentak sebab suara nyaring yang di hasilkan ponselnya sendiri. Menampilkan pemberitahuan alarm yang ia pasang sekitar tiga puluh menit yang lalu. Dan segera mematikannya sebelum kembali menghela nafas panjang.
Setidaknya tiga puluh menit yang sangat berarti.
Maka dengan tubuh yang terasa begitu kaku, Rencaka melangkahkan kakinya keluar ruangan. Mencari seorang maid yang memang dipekerjakan di sana untuk sekedar membuatkannya minuman. Lalu bergegas kearah kamar mandi di kamar pribadi miliknya, berharap bahwa guyuran air dingin di pagi buta bisa sedikit membantunya untuk kembali terjaga.
Dan bisa dibilang ini adalah rutinitas baru yang telah Rencaka lakukan selama total lima hari ia berada di negara asing itu, menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi di kantor atau di mension besar keluarganya jika memang jam kerja di perusahaannya telah berakhir.
Bahkan mungkin remaja itu telah lupa, bagaimana rasanya bisa tertidur dengan nyenyak meski hanya lebih dari dua jam lamanya. Karena selama ia berada disana, jam tidurnya benar-benar berantakan dengan total sekitar satu jam saja yang benar-benar bisa ia gunakan untuk terlelap. Sisanya, ia akan senantiasa berada di meja kerjanya dengan jam makan yang benar-benar ia lakukan secara singkat. Intinya, dia telah memforsir segala sesuatunya untuk dirinya sendiri.
Karena yang Rencaka tau, dirinya telah menetapkan tenggat waktu untuknya menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dan lekas kembali ke negara asalnya. Dan tenggat waktu itu tak lebih dari sepuluh hari, atau jika memungkinkan, ia akan langsung bergegas pulang sebelum hari kesepuluh itu tiba. Sinting memang
∆•∆•∆•∆•∆
Berbekal kekhawatiran akut kepada seorang sahabat, juga janji yang telah mereka ucap dengan sang bunda. Membuat kedua orang sahabat itu kini berdiri tegak dengan menatap bergantian antara kertas bertuliskan alamat dengan sebuah mension mewah yang berdiri kokoh didepan sana.Saling bertukar pandangan dengan hati yang perlahan mulai menciut, menyadari bahwa kehidupan keduanya seolah tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kemewahan milik Rencaka. Bahkan, Jendarkala yang juga hidup bergelimang harta pun mengakui, jika mansion besar didepannya kini jauh lebih besar dari apa yang ayahnya miliki. Seolah menegaskan seberapa jauh sekat kasta yang menengahi ketiganya. Ya, terutama bagi Nakarsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
Fiksi PenggemarJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...