/// 11 ///

772 158 18
                                        

Hancur Yang Direncana

~°•°~



Suara bantingan pintu yang terdengar memekakkan telinga menjadi hal pertama yang mengiringi langkah kaki Rencaka memasuki sebuah ruangan.

Disana, didalam ruangan dengan pencahayaan minim itu. Rencaka sudah ditunggu dengan punggung lebar Gibran yang bersandar membelakanginya.

"Apa menu makan malamnya kurang menarik sampai kau memilih meninggalkan meja makan bahkan sebelum acaranya di mulai?"

"Ayah sendiri gimana? Apa aku juga kurang menarik sebagai putra sampai ayah berniat melemparkan tanggung jawab ayah sebagai orang tua kepada orang lain?" Ujarnya dingin, dengan kedua tangan yang terkepal kuat di samping badan pun juga tatapan tak terbaca.

Mendengar itu Gibran langsung memutar kursi kebanggaannya, menatap lurus kearah putranya yang berdiri tepat di bawah sorot lampu. Sebelum kekehan nyaring terdengar memenuhi ruangan bercat abu-abu itu.

"Kau tau? ayah bahkan tak seberani dirimu saat muda dulu. Bahkan ayah tak pernah melemparkan tatapan setajam itu kepada kakek dan nenek mu. Tak peduli apapun yang sudah mereka lakukan kepada ayah, ayah tak akan seberani dirimu saat melemparkan kalimat protes seperti sekarang ini."

Kekehan sinis langsung terdengar dari pihak yang lebih muda, "Bukankah ini yang ayah mau? Menjadikan aku kuat dengan versiku sendiri sesuai seperti apa yang ayah inginkan? Supaya suatu hari nanti aku mampu menjadi pengganti ayah saat waktunya tiba."

Ada jeda beberapa saat. Bahkan jika diperhatikan, kedua genggaman Rencaka terlihat semakin erat dengan sorot mata menajam.

"Tapi ayah seolah melupakan satu hal. Bahwa sebuah robot bisa kembali menyerang pemiliknya jika tak di program dengan benar. Dan jangan salahkan aku jika hal itu juga terjadi kepada ayah nantinya."

"RENCAKA."

Tak disangka, suara teriakan Gibran malah langsung disambut tawa renyah sang putra. "Kenapa? Kenapa ayah harus berteriak marah? Bukankah yang seharusnya marah disini itu aku?"

"Apa salahnya jika aku melakukan apa yang aku suka, disaat ayah juga melakukan hal yang sama?"

"Ayah bahkan nggak pernah mau mencoba mengerti kan? atau sekedar memikirkan perasaan orang lain saat akan mengambil sebuah keputusan. Apapun itu. Ayah seolah nggak peduli."

"Jadi buat apa aku tetap berada di bawah kendali ayah saat ayah sudah membuangku dengan begitu apiknya?"

Dan lagi, remaja itu kembali menjeda ucapannya, seolah tengah memikirkan sesuatu. Entah apa.

"Ah, enggak." Kali ini senyuman sinis terpatri di sudut bibirnya. Lagi. "Mungkin aku masih tetap akan di bawah kendali ayah. Sampai nanti waktunya tiba, disaat aku sudah benar-benar muak dan memilih buat berontak dan berbalik menyerang ayah. Aku akan membuktikan itu semua. Jadi ayah, jangan bilang kalau aku nggak pernah memperingatkan hal ini kepada ayah nantinya."

"Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan?" Suara Gibran terdengar dalam dan sarat akan luapan emosi kali ini.

Membuat Rencaka langsung mengangguk mantap dari tempatnya, berkali-kali. "Iya, aku sadar seratus persen apa yang baru saja aku katakan. Dan aku harap, ayah merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Ditekan dengan ancaman yang bahkan terdengar memuakkan. Sekali lagi, aku berharap ayah merasakan itu semua."

Remaja itu kemudian berbalik pergi, dengan punggung tangan mengusap kasar air matanya yang mendadak turun.

Tapi setidaknya ia bersyukur, bahwa air mata sialan itu tak langsung turun saat dirinya masih harus berhadapan dengan sang ayah tadi.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang