The Precious Mom
-~°•°~
Seorang remaja dengan setelan khas sekolah menengah atas itu terdiam kaku, berdiri tegap menatap seseorang yang tengah terduduk di atas brangkar rumah sakit lewat kaca pintu di depannya.
"Pasien sudah ditangani, jadi kau tak perlu khawatir." Suara seorang dokter muda menginterupsi dari samping kirinya, tapi tak cukup menarik untuk membuatnya mengalihkan pandangan.
"Apa yang terjadi?"
"Seperti biasa, pasti ada satu hal yang memicu pasien sampai mengalami hal seperti ini lagi. Tapi sayangnya, kami masih belum yakin mengenai penyebabnya."
Hening, tak ada sahutan apa-apa dari yang lebih muda. "kau bisa masuk dan menemui pasien. Tapi maaf, kami terpaksa harus mengikat kedua tangannya agar pasien tidak melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya sendiri."
Rencaka hanya mengangguk kecil, lantas menghela nafas sebelum memutar kenop pintu di depannya. Melangkah perlahan hingga seseorang di dalam sana menatap kearahnya. Menyadari keberadaannya. "Ala?"
Ia tersenyum, paksa. Karena demi apapun hatinya terasa sakit sekarang, seolah ada bebatuan besar yang menghimpit dari berbagai arah. Terlampau sesak.
Tidak. Bukan hanya karena melihat keadaan seseorang di depannya kini, tapi saat kedatangannya malah dianggap sosok lain yang ia sendiri tak tahu itu siapa. Iya, dan ini sudah terjadi untuk yang kesekian kalinya.
"Maaf bunda, tapi ini Aka. Bukan Ala." Perjelasnya, hati-hati. Melunturkan senyum simpul yang sempat terpatri di sudut bibir Gina, ibu kandungnya.
"Kenapa Aka selalu datang sendiri? Dimana Ala? Bunda kangen sama dia." Tanyanya parau.
Lagi, Rencaka hanya bisa memasang senyum simpulnya. Tangannya terulur kearah tali yang melingkar di pergelangan tangan sang bunda, dan perlahan-lahan melepaskannya. "Iya, Aka nanti bakal bawa Ala ke sini. Tapi bunda harus janji, jangan kayak gini lagi. Bunda harus sembuh. Bunda nggak mau kan ngeliat Ala sedih?" Tuturnya mengikuti alur yang dibuat Gina, walaupun ia tau bahwa sosok Ala hanyalah figur imajinasi milik sang bunda.
Sedangkan wanita cantik di depannya sempat terdiam, memandang sendu wajah sang putra. "Iya, bunda nggak mau ngeliat Ala sedih. Aka juga."
Lagi-lagi remaja itu tersenyum simpul, tapi kali ini senyum kebahagiaan tanpa paksaan. Karena tak menyangka bahwa sang bunda masih bisa memikirkan keadaannya, memikirkan perasaannya.
"Iya, Aka nggak akan sedih kalo bunda sembuh." Dengan tangan yang mengelus perlahan pergelangan sang bunda yang memerah akibat gesekan dari tali.
Kemudian Rencaka bangkit dari duduknya, mengambil sebuah sisir di atas nakas dan berjalan kebelakang tubuh sang bunda. Tangannya dengan telaten merapikan surai panjang milik wanita yang sangat ia sayangi itu. "Bunda tau, hari ini Aka punya sahabat baru. Dan sepertinya, mereka anak-anak yang baik...."
Dan selalu seperti itu. Rencaka akan terus berceloteh menceritakan kesehariannya kepada sang bunda, tak sedikitpun peduli jika ceritanya akan dianggap angin lalu tanpa makna oleh wanita paruh baya disana. Karena yang ia tau, semua itu bisa membantunya untuk sejenak lupa. Lupa pada keadaan yang selalu mempersulit hidupnya. Juga lupa akan semua rasa sakit yang selama ini ia alami sejak keadaan mental sang bunda terganggu.
Sampai tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Dan Rencaka baru benar-benar keluar dari bangunan bertingkat itu sekitar pukul sepuluh malam. Berjalan santai melewati koridor dan berakhir di depan tempat parkir. Tangannya terulur mengambil handphone di dalam saku seragamnya, hendak menelepon Haikal untuk segera menjemput.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...