/// 33 ///

710 119 6
                                    

Sebuah Kenyataan Pahit



~°•°~



Yang Rencaka tau, dirinya harus segera sampai di tempat dimana kedua mantan sahabatnya, pun juga bunda dari Nakarsa itu berada. Tempat yang sama yang diinformasikan Akmal padanya, juga tempat dimana semua ketakutannya kini berpusat.

Mengabaikan kekecewaan juga permasalahan yang sempat terjadi beberapa saat yang lalu, pun memastikan jika kesemua ini tak ada sangkut pautnya dengan sang ayah.

Karena demi apapun, tempat yang sebelumnya sempat ia singgahi, juga tempat yang kini tengah ia tuju bersama Haikal adalah satu kesatuan yang hanya diketahui keberadaannya oleh orang-orang tertentu. Orang-orang terdekatnya. Yang begitu terisolasi dari dunia luar sebab letaknya yang memang berada di wilayah dengan kepemilikan atas nama keluarga ibundanya. Yang entah sudah berapa lama tak pernah ia singgahi, sebab setiap kenangannya yang seolah selalu mencekiknya begitu erat jika saja ia kembali mengingatnya.

Maka setelah hampir lima belas menit perjalanan, kedua remaja itu akhirnya sampai disana dengan mobil Akmal yang telah terparkir rapi di luar gerbang tinggi berlapis tanaman liar itu. Bergegas untuk keluar dari mobil dan langsung bergerak memasuki bangunan berlantai tiga disana.

Tapi langkah Rencaka yang memimpin dibarisan paling depan harus terhenti, sebab netranya yang mendapati puluhan orang berpakaian serba hitam tengah tergeletak tak sadarkan diri di lantai dasar bangunan itu. Dengan luka baru yang terlihat cukup jelas disetiap jengkal tubuh mereka, seolah menjelaskan jika penyebab dari semua kekacauan ini adalah karena sebuah perkelahian.

Sedangkan Rencaka sendiri jelas tak mengenali kesemuanya, kecuali suara nyaring dari sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka diujung sana. Memperdengarkan dengan sangat jelas suara bariton milik sang ayah, yang amat sangat ia kenali. Pun dengan suara tangis histeris seorang wanita yang juga terdengar cukup familiar ditelinganya. Itu suara Arumi, ibunda dari mantan sahabatnya, Nakarsa.

Maka dengan langkah tergesa Rencaka mendekat, berhenti tepat di depan pintu berwarna coklat tua itu dengan tubuh yang mendadak kaku. Sesaat setelah sederet kalimat dengan intonasi cukup tinggi menyapa indra pendengarannya.

"Ini bukan hanya soal perasaanku Arumi, karena kau jelas-jelas juga merasakannya. Dan kau mengatakan itu semua saat kita melakukannya malam itu."

Rencaka tak bodoh dengan tak memahami arti dibalik sederet kalimat penuh penekanan itu, apalagi dengan setiap fakta yang sedikit demi sedikit mulai terbuka setelahnya, pun juga berhasil menggoyahkan pertahanannya. Membuat Rencaka hampir limbung jika Haikal tak dengan sigap menahan berat badannya.

"Tuan muda...." Haikal berseru lirih, ingin menanyakan kondisi sang tuan muda saat Rencaka dengan sigap memberi isyarat kepadanya untuk diam. Memperbaiki posisinya dengan tangan menggapai knop pintu di hadapan, berharap jika nantinya kedua orang dewasa di dalam sana akan menyangkal semua fakta abu-abu yang baru saja ia tangkap.

Tapi tidak. Belum sempat kalimat tanya itu terlontar, Rencaka justru harus kembali dikejutkan dengan apa yang baru saja ia lihat. Sebuah pistol yang diarahkan Prayoga tepat kearah Jendarkala berdiri, dengan kesemua orang yang tak menyadari akan hal itu.

Maka dengan melepaskan diri dari Haikal yang seolah tau apa yang akan tuan mudanya lakukan, Rencaka berlari secepat yang ia bisa kearah Jendarkala berada. Mendorong tubuh yang lebih tinggi darinya itu menjauh, sebelum sebuah peluru menembus dan bersarang manis tepat di dadanya.

Total keenam orang lainnya kontan memekik tertahan, mendapati tubuh Rencaka yang meluruh dengan darah segar yang merembes keluar dari area dadanya. Bahkan Jendarkala yang semula limbung, dengan segera mendekat dan menangkap tubuh ringkih itu. Sedangkan Gibran yang saat itu juga terkejut, dengan gerak reflek langsung menghajar Prayoga hingga dipenghujung nafas ayah tiri dari salah satu putranya itu.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang