Penawaran Dan Negosiasi 2
~°•°~
"Udah?"
Remaja yang baru saja keluar dari sebuah kamar itu mengangguk yakin. "Udah."
"Gimana?"
"Apanya?" Dengan wajah innocent pun tanpa rasa bersalah, membuat Jendarkala sontak mendengus dari tempatnya.
"Kita serius Ren."
Mendengar Nakarsa yang berseru malas pun dengan Jendarkala yang mendengus keras langsung membuat Rencaka terkekeh geli karenanya. "Iyaa, udah. Aman, bunda udah setuju."
"Kok bisa?" Lalu tatapan Nakarsa memicing kearah Rencaka. "Lo bilang apa emang ke bunda?"
Bukan tanpa alasan Nakarsa bertanya seperti itu. Pasalnya, sebelum Rencaka yang meminta untuk berbicara secara langsung kepada sang bunda. Nakarsa sudah lebih dulu mencoba menjelaskan, menyampaikan semua sedetail yang ia bisa. Tapi tetap saja, bundanya menolak. Beralasan bahwa tak ingin merepotkan Rencaka yang notabene bukan siapa-siapa dari keduanya.
Tapi anehnya, setelah Rencaka yang mencoba menjelaskan semuanya sendiri. Secara mengejutkan bundanya setuju. Bahkan dalam waktu yang terbilang cukup singkat. Maka tak akan berlebihan rasanya jika remaja itu sedikit lebih curiga dengan sahabatnya itu.
Tapi, setelah beberapa saat menunggu jawaban. Akhirnya Nakarsa mengerti. Rencaka tak hanya mengatakan bahwa ia murni hanya ingin membantu kesulitan keduanya, sama seperti apa yang ia katakan kepada sang bunda. Melainkan juga mengatakan semuanya, termasuk bagaimana dirinya yang menginginkan kasih sayang seorang bunda setelah lama kehilangan kehangatan itu. Pun dengan janji akan membicarakan hal ini secara baik-baik dengan sang ayah, bukan seperti rencana awal remaja itu yang hanya ingin kabur begitu saja dari rumah. Bahkan, Rencaka juga menginginkan agar Arumi juga berhenti dari pekerjaannya dan bersedia menghandle sebuah cafe yang didirikan sendiri olehnya. Setidaknya, itu yang bisa Nakarsa juga Jendarkala tangkap dari penjelasan singkat sahabatnya.
"Tunggu, lo nggak bilang apa-apa soal bunda yang harus keluar dari pekerjaannya ke kita berdua. Dan, soal cafe? Lo seriusan punya cafe? Atau ini cuma akal-akalan lo aja supaya bunda setuju?"
Rencaka mendengus mendengarnya. "Gue serius, gue cuma mau lo bebas dari geng nya si Akmal. Lagian kebetulan juga kan cafe gue belum ada yang ngehandle? Jadi sekalian aja gue minta bunda buat ngurusin. Nggak papa kan?"
Sedangkan lawan bicaranya hanya bisa mengangguk, walau ragu. "Tapi lo nggak bilang apa-apa kan soal Akmal ke bunda? Dan masalah cafe itu, gimana sama ayah lo nantinya?"
Sebenarnya Nakarsa sendiri merasa janggal dengan keputusan Rencaka yang ingin mengajaknya tinggal di apartemen pribadinya. Apalagi jika alasannya hanya karena keributannya dengan sang ayah malam itu, bukankah itu sedikit berlebihan untuk dijadikan alasan? Karena demi apapun dirinya pun juga Jendarkala tak terlalu paham mengenai seluk beluk kehidupan Rencaka, selain hubungannya dengan kedua orangtuanya yang bisa dikatakan kurang baik, entah karena apa.
Keduanya seolah dibatasi untuk tau lebih banyak dari itu, terutama oleh Rencaka sendiri. Sahabatnya itu hanya akan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, dan ia akan bercerita jika memang waktunya telah tiba. Jadi mau bagaimana lagi, bukankah mereka tak bisa memaksa jika itu berkaitan dengan privasi seseorang?
Maka jalan alternatifnya hanyalah menunggu, dan berharap bahwa kehidupan Rencaka memanglah 'baik-baik saja' seperti apa yang sahabatnya itu katakan.
Lagian Nakarsa sendiri juga tak ada pilihan lain selain menurut, karena ia memang tak punya tujuan lain jika Rencaka tak menawarinya tempat untuk tinggal sementara waktu ini. Jadi bersyukur saja Tuhan telah memberikan sahabat sebaik mereka berdua di kehidupan rancu milik Nakarsa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...