Nyatanya Tak Semudah Itu
~°•°~
Sesuai keinginan Rencaka, hari ini remaja itu akhirnya bisa pulang dengan Haikal yang sedari tadi membantu mempersiapkan kepulangannya. Menghiraukan tatapan penuh arti dari orang-orang disekitarnya, pun menolak dengan tegas saat mereka berniat untuk kembali membantunya.
"Pelan-pelan aja." Titah itu akhirnya keluar saat Haikal membatu Rencaka menuruni brangkar pesakitannya, lalu secara perlahan mendudukkan tuan mudanya diatas sebuah kursi roda yang tersedia.
Sejenak, Rencaka menghela nafas.
"Aku udah maafin kalian, dan memulai semuanya dari awal mungkin nggak ada salahnya." Ada jeda, entah apa yang kembali membuat sensasi sesak itu mengungkung begitu kuat rongga dadanya. Tapi yang pasti, Rencaka telah memikirkan keputusannya ini matang-matang. Dan berharap jika keputusannya ini tak akan pernah ia sesali nantinya. "Jadi aku mau bunda sama Nakarsa juga ikut tinggal sama kita, dan aku nggak menerima penolakan. Apapun itu."
Setelahnya Rencaka langsung mengirim kode kearah Haikal, untuk langsung pergi meninggalkan kesemua orang yang masih terdiam dan mencerna dengan baik ucapannya.
Sedangkan sebelum memutuskan hal ini, Rencaka memang sempat meminta Haikal untuk memantau perkembangan hubungan kedua orang tuanya dengan bunda Arumi. Dan hasilnya cukup mengejutkan, mereka bertiga bahkan telah melakukan pembicaraan mendalam mengenai kusutnya masa lalu mereka. Pun memutuskan untuk memulai semua hubungan dari awal, demi putra-putra mereka. Demi masa depan ketiganya.
Jadi atas dasar itu Rencaka berfikir, mungkin memang tak apa jika mereka hidup didalam sebuah hunian yang sama. Meski dirinya juga masih merasa abu-abu, tentang apa saja yang bisa terjadi kedepannya nanti.
∆•∆•∆•∆
Dua hari, terhitung dua hari sudah sejak remaja tujuh belas tahun itu pulang dari rumah sakit tempo hari. Dan semuanya berjalan seperti yang seharusnya. Dengan segalanya yang berjalan hampir sesuai keinginannya bertahun-tahun lalu. Tentu saja, sebelum segalanya pupus sebab harapannya yang kian hari kian terpangkas habis sebab keadaan.
Karena dulu, entah kapan tepatnya. Rencaka pernah benar-benar berharap dalam doanya, pengharapan terbesar tentang keluarga dan persahabatan. Tentang ia yang mengharapkan sang ayah bisa berubah dan dengan senang hati menunjukkan wajah aslinya, tentang ia yang mengharapkan sang bunda untuk sembuh dan kembali menyayanginya, atau tentang pengharapan terbesarnya mengenai seorang sahabat. Semua itu terwujud sekarang, bahkan mungkin sedikit lebih baik sebab kedua orang yang sebelumnya sempat menjadi sahabatnya, nyatanya justru bisa menjadi saudara sebab aliran darah yang sama.
Tapi tidak, semuanya tak seindah itu. Karena alih-alih merasakan kebahagiaan sebab segala pengharapannya bisa terkabul, Rencaka justru merasakan kehampaan luar biasa didalam ruang dadanya. Bahkan mungkin, jauh lebih menyiksa sebelum segalanya terkabul seperti saat ini.
Dan sebut saja situasi yang terjadi saat ini adalah contohnya. Rencaka hanya bisa terdiam tak nyaman ditengah-tengah keluarganya yang masih berusaha keras menarik perhatiannya. Tak gentar membangun percakapan meski respon yang ia berikan tak lebih dari sebuah anggukan dan gelengan, mungkin juga senyuman tipis penuh paksaan sebagai bentuk penghargaan sebab usaha mereka yang sejujurnya tak pernah lagi ia harapkan.
Tak hanya itu, mereka bahkan berlomba-lomba mengikutsertakan dirinya kedalam segala hal yang terjadi di dalam rumah besar itu. Meski sekali lagi, responnya tak akan lebih dari sebuah penolakan sebab alasan ketidaknyamanan. Dan Rencaka menyadari hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
Fiksi PenggemarJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...