Akhir Bahagia? Atau Sebaliknya?
~°•°~
Doa dulu,
Dan semoga sesuai ekspektasiDusta memang kala Rencaka mengatakan bahwa hatinya bisa selapang itu menerima segalanya. Karena sekalipun kata maaf telah terlontar indah dari bibirnya, hati kecilnya tak bisa dibohongi. Masih kerap kali menyuarakan ketidaknyamanan sebab rasa sesak yang kian hari kian memporak-porandakan.
Bahkan mungkin, tak ada kata maaf yang terlontar yang tak meninggalkan bekas luka dihati pemberinya. Dan hal itu, mutlak terjadi meski ribuan orang menyangkalnya berkali-kali.
Karena memang begitulah kenyataannya. Kata maaf, rasa ikhlas, atau bahkan kelapangan hati adalah omong kosong jika luka telah tertoreh indah didalam diri. Sebab, yang sebenarnya terjadi adalah keterpaksaan. Situasi kejam yang selalu menekankan meski segalanya tak sesuai dengan pengharapan. Dan sialnya, hal itulah yang harus dihadapi Rencaka tepat dihadapan.
Lalu setelah semua itu, jangan salahkan Rencaka jika hingga di detik ini, kata sakral itu belum juga terealisasi dalam diri. Karena sekali lagi, semuanya sebab keterpaksaan. Rencaka terpaksa melakukan kesemuanya karena keadaan. Dan ia mengakuinya secara sadar.
Karena nyatanya memang tak semudah itu, memberi percaya pada orang yang dulunya menoreh luka seolah pisau yang menikam tajam. Bukanlah hal remeh yang bisa kalian lakukan tanpa persiapan. Bahkan mungkin persiapan yang matang pun akan tetap kurang, sebab perihal hati adalah sebuah misteri. Tak ada yang sanggup memahami sebab tak adanya patokan pasti.
"Semoga kalian bahagia...." Gumaman itu terlontar begitu indah dari bibir Rencaka yang terlihat bergetar hebat, memandang penuh sendu kearah ruang keluarga di bawah sana. Dimana keluarganya tengah berkumpul dengan tertawaan ringan seolah tanpa beban. Kehangatan yang dulunya begitu ia damba, yang nyatanya terasa hampa saat segalanya telah didepan mata.
"Bukankah segalanya memang akan lebih baik jika terus berjalan seperti itu?" Disaat satu persatu senyum dan tawa masing-masing dari mereka tertangkap indah di indra penglihatan Rencaka. Satu yang sudah pasti terjadi, bahwa setiap luka, air mata juga kecewa, dengan sangat sopannya kembali menyapa tanpa banyak kata.
Dan tanpa sadar, senyuman getir nan menyakitkan itu tercipta. Dengan pelupuk mata yang kian memburam menginvasi Rencaka. Meluruh menciptakan aliran secara nyata.
Rencaka jelas tak tinggal diam, melangkah mundur dengan pandangan yang semakin kosong. Sebelum berbalik dan menuju kamarnya kembali.
Daun pintu itu ia tutup secara perlahan, dengan tangan bergetar memutar kepingan kunci.
Langkahnya terus berlanjut, menunju bilik lain bernamakan kamar mandi. Pun melakukan hal yang sama pada daun pintu disana, menguncinya rapat-rapat.
Setelahnya, kaki jenjang berbalut celana panjang berwarna denim itu kembali melangkah, kali ini tujuannya sebuah benda cekung berukuran besar. Bathtube pribadinya. Mengisinya dengan aliran air, sebelum memutuskan masuk dan merebahkan tubuhnya didalam genangan itu.
Sedangkan seiring ketinggian air yang semakin meningkat, setiap kilas balik dari kejadian dimasa lalu silih berganti menyapanya. Memukulnya telak hingga rasa sesak menekannya dalam-dalam.
Tapi Rencaka bahkan tak bergerak sedikitpun, selain dadanya yang kian memberat bergerak naik turun. Bahkan kelopak matanya tak lagi mau bereaksi, hanya menatap datar kearah langit-langit diatas sana. Hingga rasa putus asa itu, berpendar begitu saja.
Lalu tangannya bergerak statis, mengepal begitu kuat sebelum menghantamkannya dengan keras kearah dada. Berulang-kali. Membuat genangan air yang semula jernih, perlahan berubah keruh sebab darah yang kembali keluar dari bekas luka tembaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...