Patah
~°•°~
Bagi Jendarkala, hidupnya sudah benar-benar berubah sejak bertahun-tahun yang lalu. Lebih tepatnya, sejak tujuh tahun silam. Tepat saat usianya baru genap sepuluh tahun.
Kala itu, suasana mendung sore hari tengah Jendarkala nikmati dari sudut kiri balkon kamarnya. Sesekali memandang takjub puluhan orang yang terlihat serius berlatih bela diri tepat di bawah sana, seolah menghiraukan gumpalan hitam yang bisa saja menurunkan liquidnya dan membuat mereka kebasahan dalam waktu singkat.
Hingga tak berapa lama kemudian, ketukan pintu terdengar beberapa kali, sebelum suara pintu terbuka mengikuti setelahnya.
Jendarkala kecil hanya menengok sekilas, sebelum menemukan sosok Yutaka - salah seorang kepercayaan ayahnya, yang terlihat tengah berjalan mendekat. Memberi tundukan hormat singkat, dengan sebuah senyuman tipis yang terlihat tulus. Lalu mengatakan jika saat itu sang ayah tengah menunggunya di ruang tengah.
Sepasang kaki yang masih tergolong mungil itu langsung saja melangkah keluar, berlari menuju sang ayah yang memang sudah meninggalkannya sejak satu bulan yang lalu. Urusan bisnis, itu yang selalu ayahnya katakan, dan selalu ia percayai.
Lalu tepat ketika Jendarkala kecil berada di anakan tangga teratas, senyumnya langsung merekah menenggelamkan kedua matanya. Apalagi saat netranya benar-benar bisa menangkap figur sang ayah yang duduk dengan memangku sebuah iPad. Menunduk lama dengan kerutan samar di dahi, pun jari tangan yang sesekali bergerak menyentuh layar si benda persegi.
Tidak, bukan seruan keras memanggil sang ayah yang langsung anak kecil itu lakukan. Bukan juga langkah lebar dengan akhir sebuah pelukan yang ia berikan. Karena nyatanya, Jendarkala memang tak sedekat itu dengan sosok sang ayah. Bahkan sejak ia dilahirkan.
Tapi melihat satu-satunya orang tua yang masih ia miliki tertangkap indra penglihatannya setelah sekian lama, mau tak mau tetap membuat hatinya merasa bahagia tak terhingga. Pun meleburkan rasa rindunya setelah sekian lama tak berjumpa.
Jadi, alih-alih melakukan kedua hal yang sudah di sebutkan di atas. Jendarkala kecil hanya bisa berjalan mantap untuk mendekat, lalu berdiri tepat di samping kursi sang ayah.
Sedangkan Anggara yang menyadari keberadaan putranya langsung mengangkat pandangan. Memandang selama beberapa saat sebelum pertanyaannya terlontar. "Hari ini ulang tahun mu kan?"
Jendarkala kecil mengangguk antusias, dengan senyuman tipis khas miliknya. "Iya, yang ke sepuluh tahun."
Anggara tak merespon apa-apa, hanya langsung bangkit setelah meletakkan iPad nya diatas meja.
"Ikut ayah." Dengan mengulurkan jari telunjuk, yang langsung digenggam erat putranya dengan langkah kecil mengikuti.
Saat itu Jendarkala kecil tak berfikir apa-apa, hanya menampilkan kerutan samar di dahi saat Anggara membawanya mendekati sebuah pintu yang selama ini harus ia jauhi. Membukanya, lalu melewati lorong-lorong gelap dengan tundukan hormat dari setiap orang yang mereka lewati.
Hingga akhirnya, langkah keduanya berhenti pada sebuah hamparan tanah lapang dengan puluhan orang berbaju hitam yang langsung menghentikan kegiatan. Lalu tundukan hormat lagi-lagi mereka dapatkan dari kesemuanya.
Sedangkan Jendarkala kecil yang merasa familiar dengan semua itu langsung saja mendongak kearah kanan atas, hanya untuk memastikan bahwa semua yang saat ini ada dihadapannya memanglah apa yang selama ini ia saksikan dari kejauhan.
Dan benar saja, dari tempatnya berdiri, Jendarkala kecil bisa melihat balkon kamarnya berada diatas sana. Membuatnya tanpa sadar tersenyum dengan perasaan bahagia. Karena untuk pertama kalinya, Anggara membawanya memasuki kawasan yang selama ini menjadi area terlarang bagi Jendarkala.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
Hayran KurguJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...