/// 35 ///

685 132 9
                                    

Mau Diperbaiki Seperti Apa?

~°•°~


"Keadaan pasien sudah lebih baik. Walaupun tadi sempat ada sedikit masalah, tapi semuanya sudah berangsur normal. Bahkan tadi pasien juga sudah sempat sadar, tapi kami terpaksa memberinya obat tidur kembali agar pasien bisa lebih banyak beristirahat." Adalah sederet kalimat yang langsung membuat orang-orang didepan ruang ICU beberapa saat yang lalu itu merasakan kelegaan luar biasa. Bahkan, tubuh tegap milik Jendarkala langsung meluruh kelantai sebab kedua kakinya yang terasa begitu lemas setelah mendengar kesemuanya.

"Mungkin lo ngelakuin itu karena lo marah sama gue?" Pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan itu terlontar. Sebelum terdengar kekehan miris menyambung dibelakangnya. "Karena gue yang sempat marah-marah nggak jelas ke lo tadi. Iya kan?" Jendarkala bermonolog, menatap sendu wajah Rencaka yang begitu damai dalam lelapnya. Sesaat setelah ia dan kedua orang tuanya masuk kedalam ruang rawat itu.

"Tapi gue seneng, akhirnya lo sadar kak. Walaupun gue belum ngeliat itu secara langsung." Gina yang berada disisi Jendarkala hanya mampu terdiam, menarik tangannya guna mengusap lembut bahu kiri sang putra. Mencoba menenangkan.

Waktu terus bergulir, keheningan menyeruak didalam ruangan putih itu. Hingga pergerakan kecil dari kelopak indah milik Rencaka tertangkap indra penglihatan Jendarkala, membuatnya memekik tertahan sebab rasa senang.

Tapi kesenangan itu tak berlangsung lama, sebab si pusat kesenangan justru langsung mengalihkan pandangan sedetik setelah mendapati ketiga anggota keluarganya disana. Pun melirih memanggil Haikal yang saat itu berdiri tak jauh dari daun pintu.

Haikal yang mengerti langsung bergegas mendekati, mencondongkan dirinya saat dirasa sang tuan muda ingin menyampaikan kata.

"Suruh mereka pergi." Ucapnya terbata, terdengar parau dan sangat lemah.

Haikal tak mengatakan apa-apa, hanya melempar pandangan kearah tiga orang lainnya. Dan karena ketiganya juga mendengar ucapan samar itu, ketiganya hanya bisa mengangguk. Lalu beranjak keluar seperti keinginan Rencaka. Meski dengan berat hati.

"Titip kakak gue." Dan Haikal hanya mengangguk tanda mengerti.

Selepas kepergian ketiga orang tadi, air mata Rencaka justru melebur membasahi sudut matanya. Isakan tertahannya pun ikut meramaikan suasana sendu didalam ruangan itu, membuat Haikal semakin bingung dengan sikap yang harus ia tentukan saat ini. "Biar saya panggilkan dokter du....."

"Janji satu hal ke gue kal...." Potong Rencaka cepat, meski terdengar lemah dan melirih. Pun dengan jemari yang menahan lengan kekar bodyguard setianya.

Haikal sendiri bergeming, ia ragu untuk menjawab ucapan sang tuan muda.

"Jangan pernah tinggalin gue. Jangan pernah hianatin gue apapun alasannya. Karena kalo itu sampek terjadi, gue nggak tau apa yang tetap bisa buat gue bertahan. Karena yang gue tau, cuma lo yang saat ini ada di pihak gue."

Haikal jelas tercekat mendengarnya, tak menyangka jika Rencaka akan mengatakan hal itu padanya. Meski ia juga tau pasti, takdir Tuhan memang sekejam itu memporak-porandakan kehidupan sang tuan muda.

Tapi mendapati Rencaka yang benar-benar terlihat hancur, membuat Haikal sendirinya merasakan sakit. Terlebih dengan permohonan sarat akan keputusasaannya, pun tatapan kosong yang menggambarkan seolah tak ada lagi harapan hidup disana. Haikal benar-benar sesak hanya karena itu.

"Tapi tuan muda masih punya....."

"Gue denger semuanya kal, dan itu udah buat gue sadar. Bukan cuma ayah yang selalu buat gue marah atau Jendarkala yang udah buat gue kecewa, tapi gue juga udah bener-bener nyerah sama bunda. Dia bener-bener udah bohongin gue, bahkan sejak awal." Iya, Rencaka memang telah mendengar segalanya. Remaja itu nyatanya sudah sadar saat keributan beberapa saat yang lalu itu terjadi diruang rawatnya, tapi ia tetap memilih memejamkan matanya. Ingin mendengar segalanya lebih jauh lagi. Tapi yang ia dapat justru kekecewaan berlebih, mendapati jika sang bunda selama ini hanya berpura-pura didepannya. Wanita yang telah melahirkannya itu tak benar-benar sakit, dia hanya menjalani kesepakatan dengan sang ayah. Dan itu artinya, bundanya telah berbohong padanya. Dan karena hal itu jugalah kondisinya langsung drop lagi, dan bahkan hampir membahayakan kondisinya sendiri tadi.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang