/// 36 ///

638 128 11
                                    

Mencoba Berdamai


~°•°~




Semua orang yang ada diruangan itu menunduk dalam, menghindari tatapan Rencaka yang terduduk bersandar di brangkar rumah sakit. Dengan Haikal yang senantiasa berdiri disamping kanannya, pun kelima orang yang saat ini terduduk disofa yang tersedia diruangan VVIP itu.

"Ayah tau kan kalo itu bukan sebuah alasan yang bisa membenarkan perbuatan ayah selama ini?" Rencaka bertanya untuk pertama kalinya, dengan suara lirih pun tatapan ketidakpercayaan.

Pria paruh baya yang baru pertama kali dilihat garis wajahnya secara jelas oleh Rencaka itu mengangguk cepat, membenarkan ucapan sang putra sulung. "Iya, ayah tau. Maka dari itu ayah minta maaf. Ayah benar-benar menyesal."

"Ayah cuma nggak mau kalo kalian juga merasakan apa yang dulu ayah rasakan. Ayah nggak mau kalian diremehkan, ayah nggak bisa."

Sedikitnya semua fakta tentang kisah rumit keluarganya telah Rencaka dengar dari kedua orang tuanya, tak terkecuali Arumi yang beberapa kali juga ikut serta menambahi kebenaran dari sudut pandangnya. Pun dengan kedua remaja lainnya, yang pada kenyataannya memang belum sepenuhnya tau tentang semua ini. Mereka mendengarkan segalanya dengan seksama.

Dan tak bisa dipungkiri, bahwa dugaan Haikal mengenai ayah tiga anak itu memang benar adanya. Gibran memang awalnya hanya ingin jika putra-putranya tak sampai merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan, diremehkan hanya karena kasta yang tak sepadan. Tapi untuk sampai di titik sekarang ini, ada begitu banyak pelajaran yang ia dapat. Terlebih tentang apa itu kepercayaan. Satu hal termutlak yang tak seharusnya diserah pasrahkan kepada sembarang orang, dan itulah yang coba ia terapkan pada kedua anaknya. Karena tentu saja, hal itu terlepas dari Nakarsa yang memang keberadaannya baru-baru ini ia ketahui. Meski sayangnya, cara yang ia gunakan terlampau salah hingga tanpa sadar menyakiti putra-putranya hingga sebegitu dalamnya.

Sedangkan bisa dibilang, dulunya Gibran bukanlah seseorang yang kasar dan penuh ambisi seperti saat ini. Dia hanyalah pria berhati lembut dengan kasih sayang luar biasa. Tapi semenjak cintanya pada Arumi ditentang begitu keras oleh kedua orang tuanya, pun pengucilan yang ia dapat diarea sekolah sebab kastanya yang tak setinggi teman-temannya, membuat pria dewasa dengan tiga putra itu berjanji pada dirinya sendiri. Bertekad sekuat tenaga untuk merubah segalanya dan menjadi orang berpengaruh dinegaranya. Agar dirinya tak dipandang sebelah mata, lagi. Dan itu berhasil.

Tapi semuanya tak berjalan lancar. Niat awalnya yang hanya ingin menjadi seorang yang berpengaruh dan tak dipandang sebelah mata justru menemui jalan buntu, harga dirinya dilukai dengan sebegitu apiknya. Sebagai seorang laki-laki. Terlebih saat kabar mengejutkan tentang menghilangnya Arumi ia dapati, sesaat setelah kabar kehamilan wanita itu ia ketahui.

Belum lagi saat harus mendapati fakta bahwa sang istri, yang nyatanya telah berhasil mengambil sedikit demi sedikit tempat dihatinya, juga memilih pergi. Membawa serta kedua buah hati yang diam-diam begitu ia cintai. Membuat pria dewasa itu semakin porak poranda kala itu. Mengubahnya begitu hebat menjadi sosok otoriter dengan menghalalkan segala cara agar semua keinginannya tercapai. Terbukti dengan kesepakatan kontroversial yang ia buat dengan sang istri.

Bahkan tak cukup sampai disitu. Ketakutan berlebihnya mengenai sang putra yang mungkin bisa saja mengalami perundungan yang sama yang juga ia alami dulunya, membuat Gibran benar-benar kalap. Membuatnya menjadi sosok tegas dengan didikan keras pada kedua putra kembarnya. Entah itu didikan keras dari segi fisik bagi Jendarkala, pun didikan keras dari segi mental dan pikiran bagi sosok Rencaka.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang