Bayaran Yang Terlalu Besar
~°•°~
Suara tepuk tangan yang cukup nyaring terdengar memenuhi sebuah ruangan berpenghuni puluhan orang itu, disusul kedatangan Anggara yang langsung disambut bungkuk hormat seluruh anggotanya di sana.
"Ayah..." Gumam Jendarkala lirih, sedikit tak percaya jika pria paruh baya yang berstatus sebagai ayah kandungnya itu datang berkunjung ke ruang latihan setelah sekian lama.
Membuatnya sontak mengakhiri sesi latihan rutinnya, sebelum berjalan kearah sang ayah yang tengah berdiri tak jauh dari arena.
"Ayah datang?"
Anggara mengangguk. "Ayah hanya ingin melihat perkembangan dari kemampuanmu sejak terakhir kali."
Entah kenapa ada rasa kecewa yang langsung menyeruak setelah mendengar kalimat itu. Karena lebih dari apapun, Jendarkala hanya berharap jika sang ayah datang karena memang peduli dengannya. Bukan karena embel-embel lain apalagi mengenai kemampuannya. Tapi sebisa mungkin remaja itu menyembunyikan rautnya, menunduk dalam dengan harapan sang ayah tak menyadari perubahan dari ekspresi di wajah lelahnya.
"Ayah dengar beberapa hari yang lalu kau langsung meninggalkan arena setelah menerima pesan, dan tak pulang sampai keesokan harinya. Apakah itu benar Jendarkala?"
Pertanyaan yang tiba-tiba terlontar kearahnya itu mau tak mau langsung membuat Jendarkala mendongak, terlihat cukup terkejut menatap kearah sang ayah yang ternyata telah menyorot dingin kearah dirinya berada.
"Maaf ayah." Ujarnya lirih, tak berusaha menyanggah.
"Jadi benar?" Dan Jendarkala mengangguk. "Mau mengatakan sesuatu sebagai pembelaan?"
"Maaf ayah, waktu itu teman Jenda ada yang sakit. Jadi Jenda terpaksa menginap."
"Kau punya teman?" Sorot mata itu memicing, sedikit tak percaya jika putranya memiliki seorang teman.
"Iya."
"Sejak kapan?" Cercanya cepat.
"Baru-baru ini."
Hening menjeda, bahkan tak ada yang berani menciptakan suara sebelum Anggara kembali berkata. "Ayah harap pertemananmu itu tak akan pernah membuatmu lengah, atau bahkan sampai membuatmu menunjukkan sisi lemahmu Jendarkala."
Pandangan Jendarkala sontak terangkat, menatap tak percaya sang ayah dengan senyuman yang hampir tercetak dengan jelas di sudut bibirnya. "Apa itu artinya ayah mengizinkan aku untuk memiliki seorang teman?"
"Terserah kau mau menganggapnya bagaimana." Lalu Anggara berbalik, sudah berjalan beberapa langkah sebelum kembali menatap sang putra yang juga masih menatapnya.
"Ayah lihat kemampuan mu sudah lebih banyak berkembang. Tapi pertahananmu masih jauh dari kata cukup, bahkan Yutaka dengan mudahnya bisa mengalahkanmu tadi."
Jendarkala manggut-manggut mengerti. "Maaf ayah, aku akan berusaha lebih keras lagi setelah ini."
"Bukankah memang seharusnya seperti itu?" Tukasnya acuh.
"Iya ayah, maaf. Tapi....."
Mendengar perkataan Jendarkala yang menggantung di akhir kalimat membuat Anggara kembali memperhatikan putranya lamat-lamat. "Ada apa?"
Masih hening hingga beberapa saat, sebelum helaan nafas panjang berkali-kali semakin memperjelas ketakutan remaja itu untuk melanjutkan ucapannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...