Proses Menuju Sebuah Akhir
~°•°~
"Gue seneng akhirnya lo mau ngabulin permintaan gue."
Mendengar suara lirih itu, Haikal kontan menoleh ringan. Menatap dalam diam Rencaka yang terduduk bersandar menatap kearah depan.
"Tapi kal..... apa kali ini gue boleh serakah?" Rencaka ikut menoleh, membalas tatapan Haikal. Kedua remaja itu saat ini tengah berada di taman belakang rumah.
"Hah? Maksudnya?" Dengan wajah cengo, jelas tak paham maksud dari ucapan Rencaka.
"Gue mau minta satu hal lagi ke lo. Gue janji, ini yang terakhir." Entah kenapa, Haikal justru menangkap maksud lain dari tatapan mata itu.
"Apa?"
"Jaga mereka seperti lo ngejaga gue selama ini ya kal, jangan pernah tinggalin mereka apapun yang terjadi." Haikal jelas paham siapa yang dimaksud tuan mudanya kini. Tapi yang tak ia paham, kenapa Rencaka mengatakan hal itu kepadanya.
"Kenapa?"
Rencaka kontan terkekeh geli, meski terdengar sumbang ditelinga sang bodyguard kepercayaan. "Ya karena lo lebih jago berantemnya daripada gue?"
Bohong. Semua orang yang mendengar ucapan Rencaka barusan, pasti paham jika remaja itu tengah berbohong. Bahkan jawabannya terdengar begitu ragu ditelinga Haikal.
"Tapi Jendarkala bahkan lebih jago daripada gue." Dan Haikal memutuskan mencecar Rencaka dengan maksud tersirat.
"Bagus dong, kalian bisa bekerja sama kalo gitu." Dan setelahnya hening, Haikal tak tau harus membalas ucapan tuan mudanya bagaimana.
∆•∆•∆•∆
"Capek..." Helaan berat yang disambung dengan gerutuan itu masuk kedalam gendang telinga Rencaka, sesaat setelah siluet dua remaja sebaya memasuki area luas kamar miliknya.
Jendarkala yang pertama memasuki ruangan itu langsung bergegas mendekati ranjang, merebahkan tubuhnya disamping sang kakak setelah sebelumnya melemparkan ranselnya kesembarang arah. Menghiraukan fakta bahwa seragam yang masih membalutnya mungkin terdapat banyak kuman, pun guliran bola mata yang mengikutinya sedari dirinya membuka pintu.
"Kakak tau, tadi...."
"Apa menyenangkan?" Pergerakan Jendarkala yang akan memperbaiki posisinya menjadi duduk itu terhenti, menatap bingung kearah Rencaka yang menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang.
"Huh...?" Raut antusiasnya kini tergantikan kebingungan yang kentara.
Pun Nakarsa. Hanya berjalan mendekat dan mendudukkan dirinya di sisi ranjang milik Rencaka, setelah sebelumnya meletakkan ransel hitamnya diatas meja belajar sang kakak.
"Bertingkah selayaknya semuanya baik-baik aja padahal kalian juga terluka..... Apa semenyenangkan itu?"
Hening. Selama beberapa saat Jendarkala pun Nakarsa hanya mampu saling melempar pandang. Mencerna lebih dalam sederet kalimat yang dilontarkan Rencaka kepada keduanya.
Sedangkan Rencaka tak memungkiri, ia juga mengakui itu, jelas-jelas tak hanya dirinya yang merasakan luka disini. Jendarkala, Nakarsa, bunda Arumi, bunda Gina, bahkan sang ayah. Kesemuanya jelas memiliki rasa sakitnya sendiri-sendiri. Dan tentu saja, dengan porsi dan proses yang hanya mereka sendiri yang mengetahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Simpang { END }
FanfictionJika fajar selalu identik dengan si kuat Jendarkala, maka kehangatan senja tak pernah terlepas dari dekap erat Rencaka. Tapi bukankah fajar dan senja tak akan nampak indah tanpa jingganya? Maka begitulah alam bekerja, menghadirkan sosok Nakarsa untu...