/// 8 ///

824 161 10
                                    

Konsekuensi Yang Sama
-

~°•°~

Malam ini langkah kaki Jendarkala terasa begitu ringan, tak peduli lagi saat jam dipergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan malam tapi ia masih menggunakan seragam sekolah lengkap. Remaja itu hanya merasa jika bebannya sedikit terangkat setelah bercerita kepada kedua sahabatnya di rooftop siang tadi. Bahkan dirinya mengakui bahwa baru kali ini ia merasa di terima dengan begitu baiknya. Mengesampingkan latar belakang keluarga yang kerap kali memangkas habis keinginannya untuk berteman. Karena Rencaka dan Nakarsa, tak peduli akan hal itu. Keduanya tulus menerima keberadaannya.

Tapi seolah kebahagiaan memang tak di perkenankan bersanding dengan nama indahnya, pergerakan Jendarkala yang sudah akan menapaki anak tangga menuju lantai dua harus terhenti. Suara bariton sang ayah adalah penyebabnya. Membuat kelegaan yang semula ia rasakan menguap entah kemana, digantikan rasa takut yang merajalela dan mencengkeram kuat keberaniannya.

"Ayah tanya dari mana aja kamu?!!"

Butuh waktu hampir sepuluh detik lamanya untuk remaja itu meyakinkan diri, bahwa suara yang sudah dua kali terdengar memenuhi rumah besar itu memanglah milik sang ayah. Hingga di detik berikutnya, dengan gerakan takut-takut Jendarkala membalikkan badan. Yang dengan begitu juga di sambut tatapan dingin sang ayah yang tengah mendudukkan diri di sofa ruang tamu, memangku sebuah iPad dengan layar menyala.

"Ayah...." Hanya itu, seolah semua penjelasan yang ingin ia lontarkan kepada sang ayah menguap entah kemana. Remaja itu hanya belum siap terjebak di dalam situasi ini, situasi menegangkan dengan sang ayah yang terlibat di dalamnya.

Sedangkan untuk beberapa hari terakhir, Jendarkala memang mengetahui bahwa sang ayah tengah melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mengurusi semua bisnisnya. Membuatnya dengan berani memutuskan untuk pulang terlambat hari ini.

Tapi ternyata semua tak berjalan sesuai keinginannya. Sang ayah sudah kembali berada di rumah, disaat dirinya dengan lancang berencana untuk mangkir dari kewajiban rutinnya setiap malam.

"Sudah merasa jadi jagoan sampai kamu nggak mau latihan lagi?" Suara itu kembali menyapa gendang telinganya, membuat Jendarkala menggeleng dengan gerakan mundur perlahan, terutama saat sang ayah berusaha mempertipis jarak dari keduanya.

Dan di saat tubuh mereka sudah saling berhadapan dengan jarak dekat, tubuh Jendarkala langsung tersungkur di lantai dengan sudut bibir berdarah. Hal yang sudah biasa terjadi disaat sang ayah tersulut emosi, bahkan remaja itu sudah bisa memprediksi jika hal itu akan terjadi. Lagi.

"Kalo kamu memang sudah merasa hebat dengan kemampuan mu itu, maka berdiri. Dan buktikan semuanya ke ayah."

Usai mengatakan itu, Anggara - ayah dari Jendarkala langsung memanggil seorang bodyguard untuk mendekat. Lantas memberikan gesture untuk melawan sang putra kandung.

"Enggak ayah, Jenda bisa jelasin semuanya."

Jendarkala berujar cepat, berusaha mendekati sang ayah yang sudah kembali duduk di tempatnya semula.

Tapi seolah perintah yang di terima adalah mutlak, bodyguard yang tadinya sempat di panggil sang ayah langsung bergerak menahan. Mendorong tubuh remaja itu dengan begitu kuat, lalu melayangkan pukulan bertubi-tubi hingga membuat Jendarkala meringis sakit dengan tubuh meringkuk. Upaya mengamankan area vital yang bisa saja membahayakan nyawanya.

Jendarkala sendiri tak melawan, hanya berusaha menghindar dengan seruan meminta ampun kepada sang ayah. Sebab jika ia sampai melawan, bukan tak mungkin sang ayah akan memberikan hukuman tambahan kepada dirinya.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang