/// 34 ///

730 124 5
                                        

Ruang Hampa


~°•°~



Tundukkan dalam dengan air mata yang melebur dari kedua sudut matanya benar-benar menggambarkan kekacauan besar di diri seorang Jendarkala. Mengguncang begitu hebat kewarasan yang nyatanya benar-benar ia jaga selama tujuh belas tahun ia hidup. Terlebih atas tempaan tak main-main yang selalu ayahnya berikan, seolah memaksanya terlihat kuat dengan jati diri yang sesungguhnya telah hancur tak bersisa.

Isakan lirih pun akhirnya juga lolos terdengar, dengan kedua tangan yang menggenggam erat tangan kiri Rencaka. Mendekatkannya pada dahi lebarnya, pun dengan sesekali ia kecupi sebagai pelampiasan luapan emosi.

Hatinya begitu sakit melihat semua ini. Kondisi Rencaka yang benar-benar terlihat tak berdaya, dengan perban putih yang sedikitnya terlihat mencuat dari balik baju pasien yang ia kenakan. Dalam sekejap mampu meruntuhkan pertahanan Jendarkala, membuatnya porak poranda hingga tak tau harus bagaimana lagi.

Belum lagi luka lebam disudut bibir sang saudara, membuatnya semakin merasa bersalah sebab dirinyalah yang membuat luka itu ada.

Tapi anehnya, tak ada satu kata pun yang terucap, selain gumaman maaf dengan perasaan bersalah yang semakin menggunung di setiap detiknya. Bahkan dihari ketiga terhitung sejak saat itu, orang-orang yang berada disekeliling Rencaka memilih bungkam. Tak ada interaksi berarti apapun yang terjadi di antara Jendarkala dan orang-orang didepan ruang intensif itu.

Karena Jendarkala pun hanya sibuk berdiam diri dengan penyalahan besar pada dirinya sendiri, pun menginvasi waktu yang tersedia untuk tetap berada di samping Rencaka. Bahkan yang sebenarnya terjadi, Jendarkala hanya akan keluar dari sana saat para dokter meminta sedikit waktu untuk memeriksa keadaan pasiennya. Atau setelah paksaan Haikal untuknya membersihkan diri pun menyuap makanan meski tak berselera.

Selain itu, Jendarkala memang sengaja melakukan semuanya. Ia hanya ingin menghindari kesemuanya untuk saat ini, entah karena apa. Mungkin juga karena rasa kecewanya, pun bisa jadi luapan rasa marah yang entah sejak kapan telah menumpuk dan memaksa ingin ia lampiaskan dengan segera. Ia tak paham.

Yang ia tau. Jikapun dirinya marah dan kecewa, maka rasa marah dan kecewa yang ia rasakan tak akan lebih besar dari yang dirasakan Rencaka saat ini. Dan karena alasan itulah dirinya ragu untuk menentukan sikap, karena memang Rencaka lah yang lebih berhak atas itu.

Jadi alih-alih menuntut penjelasan dari pihak orang dewasa, atau memperbaiki hubungan diantara mereka, Jendarkala lebih memilih menunggu Rencaka. Memberikan hak mutlak itu pada sang saudara, dengan dirinya yang nantinya akan selalu mendukung apapun keputusan kembarannya. Meski ia sendiri juga sangsi, akankah Rencaka tetap mau memaafkan dan menerimanya kembali setelah apa yang terjadi? Jendarkala tak yakin.

Dan bersamaan dengan helaan nafas berat Jendarkala, suara pintu yang didorong dari arah luar terdengar. Sosok Nakarsa berdiri di ambang pintu dengan sorot sendu, serupa dengan mata merah pun berair milik Jendarkala. Dan bisa dibilang, ini adalah kali pertama bagi Nakarsa memasuki ruangan dengan penuh alat-alat medis itu. Sebab perasaan takut dan segan selalu menginvasinya meskipun hanya untuk meminta izin menemui dan menemani Rencaka diruangannya.

"Apa gue boleh masuk?"

Tak ada balasan dari sang lawan bicara, Jendarkala hanya kembali memperbaiki posisinya. Menunduk dengan tangan kiri Rencaka yang kembali ia lekatkan pada dahi lebarnya. Dan hal itu sukses membuat air mata kembali memenuhi kelopak indah milik Nakarsa.

"Lo bisa istirahat atau cari makan dulu Jen, biar gue yang nungguin Rencaka selama lo pergi." Nakarsa berujar lirih setelah langkahnya terhenti tak jauh dari brangkar milik Rencaka, tepat disebrang Jendarkala yang terduduk di sebuah kursi yang tersedia disana.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang