/// 30 ///

552 127 12
                                    

Bom Waktu

~°•°~





Pandangan Rencaka yang semula memandang nanar kearah benda persegi di tangan itupun perlahan terangkat, hanya untuk mendapati tatapan penuh rasa iba dari total keseluruhan remaja sebayanya didepan sana.

Rencaka tak penampik, ia benci arti dari sorot mata itu. Bahkan niat awalnya untuk tak mempermasalahkan tentang Haikal yang membicarakan tentang kedua orang tuanya sirna, digantikan pukulan bertubi yang rasanya begitu menyesakkan sebagian besar rongga dadanya.

Apalagi saat ia harus kembali menerima sebuah fakta menyakitkan, tentang semua warga sekolah yang kini mulai tau mengenai bundanya. Sosok yang mati-matian ia lindungi dari sorot tajam kejamnya dunia.

Remaja itu tak siap. Benar-benar tak akan pernah siap.

Jadi alih-alih meneruskan langkahnya untuk mendekat, Rencaka lebih memilih bergeming. Melihat kembali berita yang baru saja tersebar, berharap bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah halusinasinya semata.

Tapi tidak, berita itu memang nyata adanya. Tersebar dengan cepat di group chat seluruh angkatan. Juga foto didalamnya yang ia akui meski dalam keterdiamannya.

Sebuah foto yang memperlihatkan dirinya yang tengah berlutut didepan seorang wanita paruh baya yang terduduk di sebuah kursi roda, dengan latar belakang taman sebuah rumah sakit jiwa lengkap dengan keterangan yang semakin memperjelas foto yang ada. Iya, dirinya dan sang bunda, Gina.

Dan di detik berikutnya, disaat semua situasi yang terjadi telah terserap apik kedalam otaknya. Rencaka langsung berbalik badan, berlari cepat meninggalkan tempatnya dengan genggaman kuat pada ponsel pintarnya.

Bahkan desas-desus yang mempertanyakan sosok si perempuan paruh baya, juga hubungan apa yang sebenarnya ada diantara ia dengan Rencaka telah terdengar semakin keras dan tanpa jeda di sepanjang koridor yang ia lewati. Belum lagi ketidakharmonisan hubungan keluarga yang sempat terpampang jelas diacara sekolah sebelumnya, seolah semakin mempermulus cacian yang agaknya terlontar dari setiap mulut pedas mereka semua.

Membuat pikiran remaja itu kacau dalam sekejap, pun dengan tekadnya untuk memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi. Semua seolah lenyap digantikan kegusaran yang saat ini melanda tiada henti.

Bahkan teriakan dari kedua sahabatnya pun juga Haikal yang ikut mengejar dibelakangnya ia hiraukan, terlebih saat desas-desus yang ia dengar jauh lebih menyeruak memenuhi kepalanya. Seolah memaksanya jatuh dan tak pantas untuk bangkit kembali. Ia tenggelam hanya karena cacian-cacian itu.

Remaja itu bahkan tak berani kembali ke parkiran, membuatnya langsung menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat didepan sekolah.

"Ren, please...."

Teriakan sarat akan permohonan dari sosok familiar itu memaksa pergerakan Rencaka yang tengah membuka pintu taksi terhenti, menolehkan kepalanya ragu hanya untuk mendapati kedua sahabatnya pun juga Haikal dengan sorot mata berbeda. Jika tadi ia hanya mendapati rasa iba dari sorot mata mereka, kini ia juga bisa menangkap kekhawatiran dari ketiganya.

Sedangkan ketiganya tak bodoh dengan tak menyadari sorot yang dilemparkan Rencaka. Tatapan penuh luka dan rasa kecewa yang entah ditujukan pada siapa. Mungkinkah untuk mereka bertiga?

Tapi Rencaka seolah sudah tak peduli lagi, remaja itu hanya langsung pergi dengan taksi yang kontan melaju kencang meninggalkan area sekolahan. Menyisakan keduanya yang langsung berlarian mengejar dengan Haikal yang melakukan hal yang sama. Lagi.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang